Pengikut

Kamis, 27 September 2012

KONSEP PEMBELAJARAN


1. Makna Pembelajaran
            Istilah Pembelajaran merupakan istilah baru yang digunakan untuk menunjukan kegiatan guru dan siswa. Sebelumnya, kita menggunakan istilah proses belajar mengajar dan Pengajaran”. Istilah pembelajaran merupakan terjemahan dari kata instruction”. Kondisi saat ini telah banyak orang memilih istilah Pembelajaran karena mengacu pada segala kegiatan yang berpengaruh langsung terhadap proses belajar, sedangkan Pengjaran hanya pada konteks tatap muka guru-siswa di dalam kelas. Menurut Gagne, Briggs, dan vager (1992), pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Dalam kamus Bahasa Indonesia Pembelajaran menekankan pada proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan menurut Winartapura “Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menginisiasi dan memfasilitasi, dan meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Lebih lanjut ia ungkapkan bahwa pembelajaran merupakan upaya sistematis dan sistemik untuk menginisiasi, memfasilitasi dan meningkatkan proses belajar.
            Pembelajaran dalam konteks pendidikan formal terumuskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional bahwa Pembelajaran adalah proses interaksi antara Guru dan Peserta Didik dengan Sumber Belajar pada suatu Lingkungan Belajar. Dalam konsep tersebut terkandung lima unsur utama yakni, kata Interaksi yang mengandung arti “Pengaruh Timbal Balik; Saling Mempengaruhi Satu Sama Lain. “Peserta Didik” sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. “Pendidik” adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain sesuai kekhususannya, serta berpartisipasi aktif dalam menyelenggarakan pendidikan. “ Sumber Belajar”  segalah sesuatu yang dapat digunakan oleh peserta didik dan pendidik dalam proses belajar dan pembelajaran, berupa sumber belajara tertulis/cetakan, terekam, tersiar, jaringan, dan lingkungan (alam sosial, budaya dan spritual). “Lingkungan Belajar adalah lingkungan yang menjadi latar terjadinya proses belajar seperti di kelas, perpustakaan, sekolah, tempat kursus, warnet, keluarga, masyarakat dan alam semesta.
            Dari pengertian pembelajaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran adalah proses atau kegiatan yang dirancang dengan sengaja oleh guru untuk terjadinya interaksi yang menyenangkan dalam proses belajar melalui interigritas dan optimalisasi sumber daya yang sistemik (materi, metode, media, kegiatan dan evaluasi ) sehingga peserta didik lebih paham dan aktif dalan meningkatkan cara, gairah dan hasil belajarnya.  Karena itu pembelajaran harus menghasilkan belajar meskipun tidak semua proses belajar terjadi karena pembelajaran. Proses belajar terjadi juga dalam konteks interaksi sosial-kultural dalam lingkungan masyarakat.
            Berdasarkan uraian di atas, kita dapat mengetahui ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran :
1.     Inisiasi, Fasilitasi, dan peningkatan proses belajar
2.     Adanya interaksi yang sengaja diprogram
3.     Adanya Kompenen yang Saling berkaitan (Tujuan, materi, kegiatan dan evaluasi)
4.     Adanya Intensistas dan Peningkatan Hasil Belajar

2. Perspektif Pembelajaran
           
            Menurut hemat saya bahwa awalnya kita manusia tidak menyadari memiliki potensi yang sangat besar dan berharga bagi diri, masyarakat dan lingkungannya. Tentu potensi tersebut tidak akan keluar tanpa adanya penggu
Andrias Harefa mengungkapkan bahwa proses pembelajaran bergerak di antara empat matra yang dilalui tiga perspektif. Seperti yang digambarkan di bawah ini,
Gambar I
Matriks Pembelajaran
PEMBELAJARAN
 



                                        Sadar                                  Sadar
P H                                   Tak Kompeten                      Kompeten
E A

                                       
                                        Tak sadar                          Taraf Profesional
                                        Tak Kompeten                      



Gambar II
Matriks Pembelajaran
PEMBELAJARAN



Pada tahap pertama, kita bergerak dari matra ketidaksadaran atas ketidakmampuan diri (unconscious-incompetent) menuju matra kesadaran atas ketidakmampuandiri (conscious-incompetent). Kita harus mengalami proses penyadaran dari dalam diri kita sendiri, tidak bisa dan memang tidak mungkin dipaksakan dari luar, dari siapa atau apa saja yang bukan diri kita. Proses ini saya namakan pencerahan atau penyadaran (enlightening /awakening). Pertanda tumbuhnya kesadaran atas ketidakmampuan diri ini adalah munculnya cara pandang yang sama sekali baru (paradigm repetance atau a shift of mind) dalam memahami realitas kehidupan sehari-hari. Ini berarti mulai berfungsinya mata bathin dan hati nurani kita (eye of spirit and conscience). Proses ini memerlukan pendekatan dialog yang jujur dan refklesi diri.

Tahap kedua, kita bergerak dari matra kesadaran atas ketidakmampuan diri menunju matra kesadaran atas kemampuan diri . pergerakan atau proses ini saya namakan pembelajaran. Jadi kita dimungkinkan belajar dalam arti sesungguhnya, kalau sudah sadar atas ketodakmampuan kita. Jika kita masih belum sadar atas ketidakmampuan kita, maka kita tidak mau belajar. Perta dimulainya proses pembelajaran pada tahap ini adalah kesediaan menderita, disiplin, dan komitmen untuk tekun mengerjakan sesuatu hal. Ini berarti mulai diasahnya mata budi kita. Proses ini memerlukan pendekatan berbagi tukar yakni berbagi pengetahuan, bertukar ide, dan berbagi keterampilan.

Tahap ketiga, kita dimungkinkan untuk bergerak lagi dari matra kesadaran atas ketidakmampuan diri menuju matra ketidaksadaran atas kemampuan diri. Pergerakan atau proses ini saya namakan pembiasaan. Inilah tahap profesional sejati (true profesional) seseorang hanya dapat disebut profesional  jika mampu mengerjakan sesuatu dengan kualitas tinggi tanpa sadar bahwa untuk dapat bekerja dengan cara yang demikian diperlukan kemampuan yang luar biasa. Proses ini memerlukan pendekatan acting atau doing.

Disamping, matriks pembelajaran tersebut di atas, ada juga ahli lain yang mengungkapkan konsepnya tentang Pembelajaran. Diantaranya Dave Meier dalam bukun The Accelerated Learning, ia mengungkapkan bahwa seluruh kegiatan belajar manusia berjalan melalui siklus Pembelajaran empat tahap, yakni:
1.     Persiapan
Timbulnya Minat
2.     Penyampaian
(Perjumpaan Pertama dengan Pengetahuan dan atau keterampilan Baru)
3.     Pelatihan
(Integrasi Pengetahuan atau Keterampilan Baru)
4.     Penampilan Hasil
(Penerapan Pengetahuan dan Keterampilan baru pada situasi dunia-nyata)

Jika keempat siklus tersebut ada dalam satu kesatuan bentuk, maka proses pembelajaran yang sebenarnya akan berlangsung.

1) Tahap Persiapan
            Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan pembelajar untuk belajar. Ini langkah penting delam belajar. Tanpa itu, pembelajaran akan lambat dan bahkan bisa berhenti sama sekali. Karen kadang terlalu bernafsu untuk merampungkan materi, kita sering lupa atau mengabaikan tahap ini sehingga mengganggu pembelajaran yang baik.
            Persiapan pembelajaran itu seperti mempersiapkan tanah untuk ditanami benih. Jika kita melakukannya dengan benar, niscaya kita menciptakan kondisi yang baik untuk bertumbuhan yang sehat.
            Tahap Persiapan Bertujuan; menimbulkan minat pembelajar, memberi mereka perasaan positif mengenai pengelaman belajar yang akan datang dan menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar. Kita dapat melakukannya dengan jalan
-          Memberi sugesti positif
-          Memberi pernytaan yang memberi manfaat bagi pembelajar
-          Memberikan tujuan yang jelas dan bermakna
-          Membangkitkan dam merangsang rasa ingin tahu
-          Menciptakan lingkungan fisik dan emosional, sosial yang positif
-          Menenangkan rasa takut banyak bertanya dan mengemukakan banyak masalah
-          Mengajak Pembelajara terlibat sejak awal

2) Tahap Penyampaian
            Ini adalah siklus pembelajaran yang mempertemukan pembelajar dengan materi belajar yang mengawali proses belajar secara positif dan menarik. Tahap penyampaian ini disebut juga tahap presentasi. Presentasi ini dimaknai untuk mengawali proses belajar bukan untuk dijadikan fokus utama karena itu penyampaiannya bukan sesuatu yang dilakukan guru, melainkan sesuatu yang secara aktif melibatkan pembelajar dalam menciptakan pengetahuan disetiap langkahnya. 
            Bertujuan; Membantu pembelajar menemukan materi belajar yang baru dengan cara yang menarik, menyenangkan, relevan melibatkan pancaindra, dan cocok untuk semua gaya belajar. Kegiatan ini dilakukan dengan cara;
-          Uji coba kolaboratif dan berbagi pengetahuan
-          Pengamatan berbagi fenomena
-          Presentasi interaktif
-          Grafik dan Sarana presentasi lebih berfariatif
-          Mampu menyesuaikan kedalam berbagai macam gaya belajar
-          Proyek belajar berdasarkan kemitraan dan tim
-          Menumukan dan Memecahkan sendiri, berpasangan dan kelompok
-          Contoh yang kontekstual



3) Tahap Pelatihan
            Tahap ini dalam siklus pembelajaran berpengaruh terhadap 70 % atau lebih pengalaman belajar secara keseluruhan. Dalam tahap inilah pembelajaran yang sebenarnya berlangsung. Bagaimanapun, apa yang dipikirkan dan dikatakan serta dilakukan, pembelajarlah yang menciptakan pembelajaran dan bukan apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan oleh guru atau instruktur. Sebab peranan guru ataupun instruktur hanyalah memprakarsai proses belajar lalu menyingkir. Dengan kata lain hanya bertugas menyusun konteks atau materi yang akan dibahas. Guru senantiasa mengajak pembelajar berpikir, berkata dan berbuat.
Bertujuan; Membantu pembelajar mengitegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dengan berbagai cara. Antara lain;
-          Usaha aktif, umpan balik, renungan
-          Simulasi dunia-nyata
-          Gaming
-          Pelatihan aksi
-          Aktivitas pemecahan masalah
-          Refleksi dan artikulasi individu
-          Diologis
-          Pengajaran dan Tinjauan kolaboratif
-          Aktifitas praktis membangun kerjasama.

4) Tahap Penampilan Hasil
            Setelah kita mengalami tiga tahap tersebut, kita harus melihat apakah pembelajaran tetap melekat dan berhasil diterapkan, karena itu kita senantiasa memastikan bahwa orang melaksankan (dan terus menerus mengembangkan) pengetahuan dan keterampilan baru mereka pada pekerjaan dengan menciptakan nilai nyata bagi diri mereka sendiri, organisasi dan klien organisasi.
            Bertujuan; Membantu pembelajar menerpakan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada pekerjaan sehingga hasil belajar melekat dan penampilan hasil akan terus meningkat. Kegiatan ini dilakukan dengan cara;
-          Penerapan di dunia nyata dalam tempo segera
-          Penciptaan dan pelaksanaan rencana aksi
-          Aktivitas penguatan penerapan
-          Penguatan dan pelatihan terus menerus
-          Umpan balik dan evaluasi kinerja
-          Perubahan organisasi dan lingkungan yang mendukung.

Keempat tahap di atas, harus dipastikan bahwa tidak ada gangguan atau saya bisa katakan bahwa empat siklus tersebut ibarat kenderaan beroda empat, sehingga salah satu bannya tidak boleh kempes sebab kondisi ini akan memperlambat jalannya mobil, mungkin mobil tersebut akan berhenti. Dalam konteks pembelajaran Jika Tahap Persiapan Lemah, maka pembelajaran akan terganggu. Gangguan ini diantaranya pembelajar tidak terbuka dan tidak siap untuk belajar, tidak menyadari manfaat belajar untuk dirinya, tidak memiliki minat, atau terhambat rintangan belajar (perasaan takut, stres, materi dianggapnya membosankan dan tidak relevan, taku gagal, dan lain-lain). Jika kondisi di atas tidak diatasi maka belajar cepat dan efektif akan terhenti tepat sebelum dimulai.
Jika tahap Penyampaian Lemah, Pembelajaran akan terganggu jika orang tidak memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru dalam cara yang berarti bagi mereka dan melibatkan diri mereka sepenuhnya. Jika mereka diperlakukan sebagai konsumen pasif dan bukan kreator aktif dalam proses belajar, kegiatan belajar mereka akan berjalan pincang atau malah terhenti.
Jika Tahap Pelatihan Lemah, Pembelajaran akan terganggu jika orang tidak diberi cukup waktu untuk menyerap pengetahuan dan keterampilan baru kedalam struktur diri mereka saat itu. Karena itu mengajar bukanlah memerintah dan konsumsi melainkan produksi di pihak pembelajar. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, akan tetapi pengetahuan adalah sesuatu yang diciptakan pembelajar. Karena itu pembelajar harus diberi waktu untuk beritegrasi.
Tahap Penempilan Hasil Lemah, Pembelajaran akan terganggu jika orang tidak punya kesempatan untuk segera menerapkan apa yang telah mereka pelajari. Jika tidak segere menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang baru mereka pelajari ke dunia-nyata, sebagian besar akan menguap. Blass! Hilaang!. Belajar gaya menyimpan dalam kulkas tidak akan berhasil akan tetapi dengan penerpan segera dan bimbingan serta dukungan yang tepat, 90% pelajaran akan tetap melekat.

2. Model Sembilan Peristiwa pembelajaran
Sembilan peristiwa pembelajaran ini tidak lain adalah aktivitas-aktivitas belajar yang menurut Gagne perlu diterapkan sebagaimana dalam fase-fase belajar. Dengan penerapan model ini diharapkan hasil belajar dapat ditingkatkan dan dipertahankan.
Peristiwa pembelajaran diasumsikan sebagai cara-cara yang perlu diciptakan oleh guru dengan tujuan untuk mendukung proses-proses belajar (internal) di dalam diri siswa. Hakikat suatu peristiwa pembelajaran untuk setiap pembelajaran berbeda-beda, bergantung kepada kapabilitas yang diharapkan atau harus dicapai sebagai hasil belajar. Kesembilan peristiwa Pembelajaran yang ada pada setiap fase belajar dapat diuraikan sebagai berikut.
1.     Membangkitkan perhatian. Kegiatan paling awal dalam pembelajaran adalah menarik perhatian siswa agar mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir pelajaran. Perhatian siswa dapat ditingkatkan dengan memberikan berbagai rangsangan sesuai dengan kondisi yang ada, misalnya dengan perubahan gerak badan (berjalan, mendekati siswa, dan lain-lain), perubahan suara, menggunakan berbagai media belajar yang dapat menarik perhatian dan menunjukkan atau menyebutkan contoh-contoh yang ada di dalam kelas atau di luar kelas, dan lain-lain.
2.     Memberitahukan tujuan pembelajaran pada siswa. Agar siswa mempunyai pengharapan dan tujuan selama belajar maka kepada siswa perlu dijelaskan tujuan apa saja yang akan dicapai selama pembelajaran, manfaat materi yang akan dipelajari bagi siswa, dan tugas-tugas yang harus diselesaikan selama pembelajaran. Keuntungan menjelaskan tujuan adalah agar siswa dapat menjawab sendiri pertanyaan apakah ia telah belajar? Apakah materi yang dipelajari telah dikuasai? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat membangkitkan harapan dalam diri siswa tentang kemampuan dan upaya yang harus dilakukan agar tujuan tercapai.
3.     Merangsang ingatan pada materi prasyarat. Bila siswa telah memiliki perhatian dan pengharapan yang baik pada pelajaran, guru perlu mengingatkan siswa pada materi apa saja yang telah dikuasai sehubungan dengan materi yang akan diajarkan. Dengan pengetahuan awal yang ada pada memori kerjanya diharapkan siswa siap untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang lama dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari. Ada banyak cara yang dapat dilakukan guru untuk mengingatkan siswa pada materi yang telah dipelajari, misalnya dengan mengingatkan siswa pada topik-topik yang telah dipelajari dan meminta siswa untuk menjelaskannya secara singkat.
4.     Menyajikan bahan perangsang. Peristiwa pembelajaran keempat adalah menyajikan bahan kepada siswa berupa pokok-pokok materi yang penting yang bersifat kunci. Sebelum itu guru sudah harus menentukan bahan apa yang akan disajikan, apakah berupa informasi verbal. keterampilan intelektual, atau belajar sikap. Berdasarkan jenis kemampuan/bahan ini maka dapat dipilih bentuk kegiatan apa yang akan disajikan sehingga proses pembelajaran berjalan lancar. Misalnya  bila akan mengajarkan sikap, pilihlah bahan yang berupa model-model perilaku manusia. Bila akan mengajarkan keterimpilan motorik. demonstrasikan contoh bahan keterampilan tersebut dan tunjukkan caranya seeara tepat.
5.     Memberi bimbingan belajar. Bimbingan belajar diberikan dengan tujuan untuk membantu siswa agar mudah mencapai tujuan pelajaran atau kemampuan-kemampuan yang harus dicapainya pada akhir pelajaran. Misalnya, bila siswa harus menguasai konsep-konsep kunci, berilah cara mengingat konsep-konsep tersebut misalnya dengan menjelaskan karakteristik dari setiap konsep. Bila siswa harus menguasai suatu keterampilan tertentu maka bimbinglah dengan cara menjelaskan langkah-Iangkah yang harus ditempuh untuk menguasai keterampilan tersebut. Dalam hal ini bimbingan belajar harus diberikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan siswa beserta kesulitan-kesulitannya.
6.     Menampilkan unjuk kerja. Untuk mengetahui apakah siswa telah mencapai kemampuan yang diharapkan, mintalah mereka untuk menampilkan kemampuannya dalam bentuk tindakan yang dapat diamati oleh guru. Misalnya, bila ingin mengetahui kemampuan informasi verbal siswa, beri siswa pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengukur tingkat penguasaannya atau bila ingin mengetahui keterampilan siswa maka mintalah mereka melakukan suatu tindakan tertentu. Jawaban yang diberikan siswa hendaklah sesuai dengan kemampuan yang diminta dalam tujuan pembelajaran.
7.     Memberikan umpan balik. Memberikan umpan balik merupakan fase belajar yang terpenting. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik umpan balik diberikan secara informatif dengan cara memberikan keterangan tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai siswa. Misalnya, jelaskan jawaban yang sudah lengkap dan yang perlu dilengkapi atau dipelajari kembali oleh siswa dengan cara "sudah baik", "pelajari kembali", atau "lengkapi ", dan lain-lain.
8.     Menilaia Unjuk Kerja. Merupakan peristiwa pembelajaran yang bertujuan untuk menilai apakah siswa sudah mencapai tujuan atau belum. Untuk iu perlu dibuat alat penilaian yang relevan dengan tujuan sehingga dapat untuk mengukur tingkat percapaian siswa.
9.     Meningkatkan retensi. Peristiwa pembelajaran terakhir yang harus dilakukan oleh guru adalah upaya untuk meningkatkan retensi dan alih belajar. Guru perlu memberikan latihan-latihan dalam berbagai situasi agar siswanya dapat mengulangi dan menggunakan pengetahuan barunya kapan saja jika diperlukan.
Menurut Gagne : Pembelajaran adalah menciptakan suatu kondisi pembelajaran (eksternal) yang dirancangk untuk mendukung terjadinya proses belajar yang bersifat internal.  Namun apapun bentuknya kita semua adalah pembelajar yang terus menerus mengasah diri dalam meningkatkan kualitas, oleh karena itu kita semua senantiasa memperhatikan : beberapa konsep belajar yang sering terjadi pada lingkungan belajar kita yang perlu dihindari yaitu laihirnya:
Masalah
Solusi
Ketegangan dan Stress
Bangkitkan ketenangan
Kebosanan
Minat
Individulisme yang terasing
Kerjasama
Militerisme
Kesan Manusiawi
Resimentasi
Kebebasan Pribadi
Suasana Steril
Kegairahan
Kontrol Otoriter
Rasa Hormat Kepada Orang Lain
Motivasi dari Luar
Motivasi dari Dalam
Perasaan Terkurung
Kelegaan
Belajar Terasa Berat
Belajar Terasa Menyenangkan.


C. GAYA DAN PENDEKATAN BELAJAR = KECERDASAN

1.   Mengenali Gaya Belajar

Orang suka bicara soal life style, gaya atau cara hidup, tetapi sangat jarang membicarakan gaya atau cara belajar, learning style. Dalam perspektif pembe­lajaran, karena hidup adalah belajar, maka gaya hidup yang dominan dalam sebuah masyarakat kiranya dapat dipahami sebagai pencerminan gaya belajar masyarakat tersebut.
Masyarakat Indonesia, misalnya. Pragma­tisme, materialisme, dan konsumerisme yang begitu kasat mata telah membuat sebagian besar anggota masyarakat hanya belajar kalau akan dapat "hadiah" atau karena "dipaksa" oleh ke­nyataan hidup. Belajar untuk dapat "hadiah" adalah gaya belajar "sarimin", si topeng monyet yang mau disuruh menari ke sana kemari agar diberi kacang kesukaannya; atau gaya belajar lumba-lumba, yang bersedia menyundul bola dan menerobos lingkaran api agar diberi ma­kanan oleh pelatihnya seperti di Taman-Taman pusat kota; atau gaya belajar kekanak­kanakan, yang harus dibujuk dengan permen atau mainan supaya mau mengerjakan PR se­kolahnya. Celakanya, gaya belajar model "sari­min", "lumba-lumba", dan "kekanak-kanakan" itu masih dianut oleh sebagian besar anggota masyarakat usia dewasa, bahkan kaum elite yang bercokol di puncak-puncak kekuasaan negeri ini. Kalau tidak diiming-imingi sesuatu, entah itu uang, jabatan, atau popularitas, banyak orang tidak mau helajar sungguh-sungguh, tidak terus-menerus menambah pengetahuan, tidak meningkatkan keterampilan secara berkesinambungan, tidak berusaha menarik sebanyak mungkin pelajaran dari pengalaman hidup sehari-hari, dan tidak berupaya memper­baiki kinerja-prestasi secara serius.
Di samping gaya belajar "sarimin" dan "lumba-lumba", gaya belajar kedua vang do­nunan dalam masyarakat pragmatis dan mate rialistis adalah gaya belajar "kepepet" atau "ter­paksa". Kalau sudah dipaksa oleh keadaan, orang baru mulai belajar. Paksaan itu bisa da­tang dari orangtua, pengajar atau atasan, tetahi juga bisa dari peristiwa vang tidak menyenang­kan seperti di-PHK atau dipensiundinikan se­cara tiba-tiha, dirampok karena terlalu sering memamerkan kekavaan secara mencolok ketika masyarakat sedang susah, ditingk;al mati oleh penopang hidup keluarga, dilanda musibnh kebakaran atau banjir yang menelan hasil kerja bertahun-tahun dalam sekejap mata, clan sebo­gainya. Singkatnva, banvak orang baru sadar bahwa ia masih perlu banyak belajar kalau ia sudah kepepet oleh keadaan, kalau sudah dipaksa untuk berubah, kalau pilihannya sudah ekstrem seperti "belajar/berubah atau mati".
Gaya belajar "sarimin" atau gava belajar kepepet" di atas lebih merupakan dramatisasi dari kenyataan vang menunjukkan bahwa masyarakat kita didominasi oleh orang-orang yang "susah belajar" (kata lain dari "antibelajar"). Ibarat orang yang masih dalam taraf "susah hidup" tidak sempat memikirkan "gaya hidup", maka demikianlah orang yang "susah belajar" tidak sempat memikirkan soal gaya belajarnya. Belajar saja susah, apalagi memikirkan soal gaya".
Umumnya dapat dikatakan bahwa orang yang tidak tahu gaya belajarnya adalah mereka yang masih sangat bergantung kepada "orang lain" dalam soal belajar. Mereka menanti di­cekoki, diberi tahu, dilatih, entah oleh orangtua, atasan, pengajar, atau pelatihnya. Tidak ada pe­ngetahuan diri yang cukup memadai dan ku­rang sekali inisiatif unhtk belajar secara mandiri, tanpa disuruh-suruh, tanpa ditunggui, tanpa diawasi, tanpa diiming-imingi "hadiah". Kalau orang yang belum mampu belajar secara man­diri ini menjadi pejabat/manajer, maka ia akan menjadi pejabat/manajer yang selalu menunggu petunjuk dari bos/atasannya, atau yang sekadar Asal Bapak Senang (ABS).
Hemat saya, soal gaya belajar ini perlu di­kenali oleh setiap orang yang ingin menjadi pembelajar mandiri (independent learner), yang ingin menjadi "manusia bebas" dalam arti terbebas dari kttngkungan pengajar clan pelatili formalnya (entah di sekolah, universitas, atau­pun di perusahaan dan dunia kerja lainnva). Sebab dengan mengetahui gaya belajarnya, se­seorang dapat mengambil inisiatif mempelajari sesuatu yang sesuai dengan minat, bakat, po­tensi, dan talentanya. Dengan demikian, ia da­pat mengembangkan dirinya terus-menerus, baik ketika masih duduk di bangku sekolah for­mal, terutama dalam kehidupan sehari-hari di luar lembaga-lembaga pengajaran dan pelatihan itu. Singkatnya, mengenali gaya belajar pribadi merupakan sesuatu yang perlu, meski belum mencukupi untuk da­pat memanusiawikan diri sendiri secara terus­ menerus.
kita dapat mengenali sedikitnya ada tiga gaya belajar, yakni:
(1)    gaya visual, yakni pembelajar yang dapat belajar secara lebih efektif jika mempergunakan penglihatan fisiknya,misalnya dengan membaca, mengamati, menonton video/film, dan segala cara yang melibatkan indra penglihatannva;
(2)    gaya auditori, yakni pembelajar yang lebih cepat belajar dengan cara berbicara clan mendengarkan (termasuk membaca dengan bersuara keras), atau berdialog dengan orang lain (termasuk wawancara), dan cara lain yang intinya melibatkan telinga secara aktif;
(3)    gaya kinestetik, yakni pembelajar yang belajar dengan cara menggerakkan tubuhnya, mengalami secara langsung, aktif secara fisik, terjun ke lapangan, mencicipi dan merasakan, dsb.
(4)    gaya belajar intelektual-belajar dengan berpikir dan membayangkan, menciptakan model mental, merenung, dan sebagainya.
Honey dan Mumford dalam The Manual of Learning Style (1986) menawarkan empat gaya belajar yang patut diduga dikaitkan dengan empat bentuk dasar kepribadian manusia (sanguin, flegmatik, kolerik, dan melankolik), yakni:
(1)   gaya belajar aktivis yang ditandai dengan keterbukaan pikiran dan antusiasme yang tinggi;
(2)   gaya belajar pragmatis yang meng­utamakan pemecahan masalah secara "membumi";
(3)   gaya belajar teoretis yang meng­utamakan logika dan analisis; serta
(4)   gaya belajar reflektif, suka memer­hatikan, menyimak, dan mengamati untuk direnung-renungkan.
Untuk lebih memantapkan efektifnya gaya belajar maka seharus para pembelajar juga harus memilih atau mencari waktu yang tepat dan tempat yang menyenangkan untuk menerapkan gaya belajar yang menjadi favorit.
SmartorKids mengidentifi­kasi tujuh gaya atau pendekatan belajar yang berguna bagi orangtua maupun pengajar sc­kolah, yakni:
(1)   pendekatan dengan sentuhan fisik. Pada intinya gaya belajar model ini sangat mengandalkan gerak tubuh. Orang atau anak-anak yang suka bermain sambil belajar, menggerakkan anggota tubuhnya, tak bisa duduk diam adalah mereka memiliki gaya belajar ini. Kelak mereka mungkin lebih baik memilih karier yang dalam praktiknya memerlukan gerak tubuh seperti penari, olahragawan/wati, dan dunia seni rupa.
(2)   pendekatan intrapersonal. Orang atau anak-anak yang memiliki kecenderungan belajar intrapersonal umumnya lebih suka menyendiri, meski mereka tidak antisosial. Mereka bisa berhubungan dengan orang lain, hanya saja dalam soal belajar mereka lebih suka menyendiri. Mereka cenderung memecahkan persoalamya secara mandiri, tanpa melibatkan orang lain.
(3)   pendekatan interpersonal. Orang atau anak-anak yang suka berkelompok, memecahkan masalah temannva bersama­sama, adalah mereka yang belajar dengan cara ini. Pendekatan belajarnya adalah kooperatif. Kelak anak-anak yang senang belajar dengan cara interpersonal ini dimungkinkan untuk berhasil dalam karier sebagai konsultan, pengajar, politisi, pelatih, pengelola bisnis, dan entertainer.
(4)   pendekatan bahasa. Orang atau anak­anak yang sangat menyukai kegiatan membaca buku dan menulis menunjukkan gaya belajar. Dongeng, cerita, penjelasan verbal sangat mereka sukai. Kelak mereka mungkin akan sangat berhasil dalam karier sebagai jurnalis, penyunting, dosen, atau penulis naskah.
(5)   pendekatan matematis. Orang atau anak-anak yang menyukai segala sesuatu yang memerlukan perhitungan, angka, garis, dan logika, adalah mereka yang belajar dengan cara ini.
(6)   pendekatan musik. Orang atau anak­ anak yang belajar dengan cara ini menun­jukkan respons spontan bila mendengarki, suara musik atau iwanvian. Mereka menyukai suasana riang.
(7)   pendekatan visual. Orang atau anak­anak vang belajar dengan cara ini menyukai tampilan dalam bentuk gambar, tontonan, yang tampak secara visual.
Pemahaman mengenai gaya belajar secara langsung dihubungkan dengan potensi pembelajar itu sendiri. Karena itu gaya belajar jangan dipaksakan, tetapi harus dikenali agar dapat dikembangkan secara baik. Dari penjelasan mengenai bermacam-ma­cam gaya belajar di atas, secara umum dapat di­katakan bahwa gaya belajar seseorang sangit dipengaruhi oleh kepekaan indranva (rnata, telinga, kulit, lidah, hidung), corak kepribadian yang mencakup minat dan bakatnya, juga as­pirasi atau cita-cita hidupnya, serta persepsinya tentang makna belajar. Sementara dalam kon­teks masyarakat, gaya belajar "kolektif" yang dominan boleh jadi sangat ditentukan oleh ke­budayaan, sistem sosial politik, serta struktur sosial ekonomi yang ada (model "sarimin" dan "kepepet" adalah contohnya yang negatif).
Saya kira setiap orang bisa belajar dengan berbagai macam gaya tersebut, namun salah satu atau beberapa gaya akan lebih dominan ketimbang lainnya. Orang lain atau teman, misalnya, lebih mudah belajar dengan pendekatan auditori­kinestetik atau gaya pragmatis, sementara sebagian orang lebih suka visual-auditori dan aktivis-reflektif. Atau adik kita, lebih awal menun­jukkan kecenderungan untuk belajar dengan pendekatan sentuhan fisik-musik-interpersonal; sementara adiknya lebih cenderung intraperso­nal-matematis-bahasa. Pada titik ini mungkin perlu ditegaskan pu­la bahwa tidak ada gaya yang lebih baik di an­tara semua gaya itu. Semua gaya belajar itu pada dasarnya baik. Yang penting, si pembelajar me­mahami gaya belajarnya masing-masing sehing­ga dapat belajar secara lebih efektif dan lebih sesuai dengan keunikan dirinya sebagai anak.
2. Kecerdasan
Sama seperti "belajar" memiliki begitu banyak pengertian dan definisi yang ditawarkan, demikian juga halnya de­ngan kecerdasan atau intelligence. Di an­taranya adalah:
Cerdas berarti sempurna perkembangan akal budinya (pandai, tajam pikiran, dsb.); sempurna pertumbuhan tubuhnya (seperti sehat, kuat, dsb.).WJS Poerwadnrmintn
Kecerdasan adalah kualitas bawaan sejak lahir, sebagai hal yang berbeda dari kemampuan yang diperoleh melalui pengalaman individual. Encyclopedia Britannica
Kecerdasan adalah kekuatan dari persepsi, pembelajaran (learning), pengertian, dan pengetahuan; suatu kemampuan mental. -A.S. Hornby
Kecerdasan adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan yang sudah ada untuk memecahkan masalah-masalah baru; tingkat kecerdasan diukur berdasarkan. Donald
Kecerdasan adalah kemampuan untuk melakukan pemikiran abstrak. Lewis M. errnnn
Kecerdasan adalah kualitas bawaan sejak lahir, sebagai hal yang berbeda dari kemam­puan yang diperoleh melalui proses belajar. -Herbert Spencor
Kecerdasan adalah kecakapan untuk bertindak secara sengaja, berpikir secara rasional, dan berhubungan secara efektif dengan lingkungan. -D. Weclvsler
Kecerdasan adalah kemampuan untuk menghadapi masalah dengan sikap yang tak terprogram (kreatif). -Stephen J. Gould
Kecerdasan adalah kemampuan untuk mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi situasi lingkungan.-Robert Franklin

Tujuh jenis kecerdasan, dalam buku Intelligence Refrntrud (1999) :
(1)   kecerdasan verbal-linguistik, terutama berhubungan dengan bahasa, aktivitas membaca dan menulis. Kita menyaksikan jenis kecerdasan ini pada penulis, penyair, dramawan, ahli pidato, dsb;
(2)   kecerdasan matematis-logis, terutama diasosiasikan dengan kemampuan berpikir "ilmiah", logis, dan runtut, sebagaimana didemonstrasikan antara lain oleh mereka yang menekuni profesi sebagai ilmuwan, akuntan, bankir, ahli hukum, ahli matematika, dsb;
(3)   kecerdasan visual-spasial, terutama berhubungan dengan seni-seni visual seperti melukis, menggambar, memahat, membuat peta, merancang desain interior, arsitektur, dsb;
(4)   kecerdasan kinestetik-jasmani, ter­utama ditunjukkan lewat kemampuan olah tubuh/otot dan ketangkasan fisik seperti yang didemonstrasikan oleh para penari, atlet renang, lari, bela diri, sepeda, dsb;
(5)   kecerdasan musikal-ritmik, terutama ditandai oleh kepekaan terhadap bunvi­bunyian, pola nada dan irama, yang antara lain dimiliki oleh musisi, penyany_ i, dan pekerja musik lainnya;
(6)   kecerdasan intrapersonal, terutama berhubungan dengan pengetahuan diri, intuisi, kesadaran diri, refleksi, sebagai­mana patut diduga dimiliki oleh ahli filsafat, rohaniwan, psikiater, dsb;
(7)   kecerdasan interpersonal atau "sosial", terutama berhubungan dengan kemam­puan bergaul dengan banyak orang, memahami dan berempati atau berkomu­nikasi dengan orang lain, seperti yang mungkin dimiliki oleh politisi, pemasar/ penjual, dsb;
(8)   kecerdasan naturalis, yakni kemam­puan membedakan atau mengelompokkan jenis-jenis flora dan fauna serta bangun­bangun alam dan awan, seperti yang dimilik ahli biologi, zoology dan pawang
Sedangkan menurut Goleman kecerdasan atau kecakapan terbagi dari dua yakni kecapan pribadi dan kecakapan sosial.
Kecakapan pribadi terdiri dari tiga unsur:
Pertama, kesadaran diri-mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya, dan intuisi. Orang yang memiliki kesadaran diri tinggi adalah mereka yang memiliki (a) kesadaran emosi, mengenal emosi diri sendiri dan efeknya; (b) penilai­an diri secara teliti, mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri; (c) percaya diri, memiliki keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri;
Kedua, pengaturan diri-mengelola kondisi, impuls, dan sumber daya diri sendiri. Kemampuan mengatur diri ini terutama ditandai oleh (a) pengendalian diri, mengelola emosi-emosi dan desakan­desakan hati yang merusak; (b) sifat dapat dipercaya, memelihara norma kejujuran dan integritas; (c) kewaspadaan, bertang­gung jawab atas kinerja pribadi;
(d) adaptabilitas, keluwesan dalam menghadapi perubahan; dan (e) inovasi, mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi­informasi baru;
Ketiga, motivasi-kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan proses pencapaian sasaran. Motivasi mencakup (a) dorongan prestasi, yakni dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan; (b) komitmen, menvesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau perusahaan; (c) inisiatif, yakni kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan/peluang; dan (d) optimisme, kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.
Sementara apa yang disebut Goleman se­bagai kecakapan sosial terdiri dari dua unsur lainnya, yakni:
Pertama, empati-kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain. Empati mencakup (a) mema­hami orang lain, mengindra perasaan dan perspektif orang lain, dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka; (b) orientasi pelayanan, mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan; (c) mengembangkan orang lain, merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha menum­buhkan kemampuan mereka; (d) mengatasi keragaman, menumbuhkan peluang mela­lui pergaulan dengan bermacam-macam orang; dan (e) kesadaran politis, mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelom­pok dan hubungannya dengan kekuasaan.
Kedua, keterampilan sosial-kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain. Keterampilan sosial ini mencakup (a) pengaruh, taktik­taktik untuk meyakWkan orang; (b) komu­nikasi, mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan; (c) kepemimpinan, membang­kitkan inspirasi clan memandu kelompok dan orang lain; (d) katalisator perubahan, memulai clan mengelola perubahan; (e) manajemen konflik, negosiasi dan pemecahan silang pendapat; (f) kolaborasi dan kooperasi, kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama; dan (g) kemam­puan tim, menciptakan sinergi keiompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.

           

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
ehm.. gimana y?? klo g knal g syang.. gtu... gamapangkan...