Pengikut

Minggu, 15 April 2012

MIGRASI: PELUANG DAN TANTANGAN PROGRAM STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

MIGRASI: PELUANG DAN TANTANGAN PROGRAM STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Geografi Manusia dan IPS

Yang dibina oleh Dr. Budijanto, M. Si

Oleh:

Sahesty Adriani

100721507351

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI

Mei 2011



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ada kaitan yang erat antara migrasi dan kemiskinan. Migrasi bisa dianggap sebagai sebuah alternatif untuk keluar dari jerat kemiskinan. Migrasi, dengan pendapatan yang diperoleh darinya, juga mempunyai andil dalam pengentasan kemiskinan, minimal di tempat asal para migran. Sebaliknya, dalam kondisi tertentu, kemiskinan justru menciptakan alasan yang mendasari orang melakukan migrasi.

Ada mobilitas yang bersifat kedaerahan yang tinggi pada sebagian pekerja Indonesia. Walaupun mobilitas tersebut terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, hal itu merupakan ciri yang senantiasa melekat dengan dunia tenaga kerja. Namun demikian, belakangan ini peningkatan tersebut tidak hanya terjadi dalam hal skala perpindahan, tetapi juga dalam hal keragaman jenis perpindahan itu sendiri, tujuan, dan daerah asal pekerja migran serta di kalangan mereka yang melakukan perpindahan. Setiawan (2010) mengemukakan bahwa mobilitas tenaga kerja di Indonesia dipicu oleh sejumlah faktor seperti di bawah ini:

a. Tidak ada titik temu antara lokasi di mana kesempatan kerja terus bertambah dengan lokasi di mana para pencari kerja tinggal.

b. Tingkat pendidikan yang terus berkembang yang mendorong kaum muda enggan bekerja di sektor pertanian dan mencari pekerjaan di sektor lain.

c. Proses komersialisasi sektor pertanian yang cepat, yang menggantikan input tenaga kerja dengan input modal.

d. Nilai-nilai budaya yang kuat yang dianut beberapa kelompok suku bangsa yang mendorong masyarakatnya untuk pindah keluar dari kampung halamannya dengan tujuan memperoleh pekerjaan dan pengalaman.

e. Tradisi yang kuat dalam merespon konflik lokal maupun regional dengan berpindah ke lokasi lain yang lebih aman, baik sementara maupun permanen.

f. Pola-pola yang kaku yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia dimana keluarga berusaha meningkatkan rasa aman mereka dengan mendorong anggota keluarga bekerja di luar kampung halaman. Dengan cara seperti itu, mereka memiliki sumber pendapatan yang banyak yang akan mengurangi dampak buruk jika salah satu sumber itu hilang.

g. Menyebarnya industri migrasi yang meningkat pesat di Indonesia yang melibatkan orang/lembaga rekrutmen, penyedia jasa perjalanan, dan pihak perantara lain yang memperlancar arus tenaga kerja ke tempat tujuan dan ke luar negeri.

h. Tradisi dalam hal menyikapi krisis dengan cara mengirim anggota keluarga ke daerah-daerah yang memiliki lowongan pekerjaan dan bisa mendatangkan penghasilan yang lebih menarik ketimbang di daerah asal.

Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997-1998 telah mengubah peta perekonomian Indonesia secara dramatis. Krisis itu tidak hanya mempengaruhi pola mobilitas tenaga kerja yang sudah ada melainkan juga memicu mobilitas baru sebagai jawaban terhadap krisis.

Dengan demikian ada tradisi yang panjang di tengah masyarakat Indonesia dalam menyikapi kemiskinan melalui strategi mobilitas tertentu. Ada pola yang telah lama mapan di mana keluarga berusaha meningkatkan rasa aman mereka dengan mendorong anggota keluarga bekerja di luar kampung halaman. Cara ini akan membuat keluarga tersebut memiliki sumber pendapatan yang banyak dan hal itu akan membuat mereka aman jika salah satu sumber pendapatan tidak bisa diharapkan lagi. Masyarakat Indonesia tersebar luas di berbagai daerah baik di negara sendiri maupun di negera lain untuk meningkatkan peluang hidup mereka dan keluarga mereka. Mobilitas ini mencakup rentang jarak yang cukup jauh dan dalam beberapa dasawarsa terakhir terus meluas ke negara-negara lain. Indonesia kini telah menjadi salah satu sumber/pemasok utama tenaga kerja migran di dunia.

Ciri khas dari mobilitas adalah bahwa keadaan itu bersifat tidak permanen dan melingkar di mana para pekerja meninggalkan keluarga di tengah warga kampung halaman, sementara ia sendiri bekerja di tempat tujuan untuk jangka waktu seminggu sampai dua tahun. Di Indonesia, pekerja bersedia menempuh perjalanan yang cukup jauh dalam upaya meningkatkan peluang hidup mereka. Hal ini sangat penting artinya dalam mengurangi tingkat kemiskinan karena pekerja ini bisa dipekerjakan di daerah-daerah di mana masih terbuka kesempatan kerja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola migrasi, pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia?

2. Bagaimana dampak krisis keuangan yang menimpa Indonesia?

3. Bagaimana rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan peranan mobilitas penduduk dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia?

C. Tujuan

Adapaun tujuan yang terdapat dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pola migrasi, pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Indonesia.

2. Mengetahui dampak krisis keuangan yang menimpa Indonesia.

3. Mengetahui rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan peranan mobilitas penduduk dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Migrasi, pembangunan dan Pengentasan Kemiskinan

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, migrasi bisa dianggap sebagai sebuah alternatif untuk keluar dari jerat kemiskinan. Dalam konteks Indonesia, salah satu bentuk yang paling populer adalah apa yang disebut ”Mekanisme Penanggulangan” (coping mechanism). Dengan mekanisme itu, keluarga akan menyebarkan saluransaluran untuk mendapatkan pendapatan dalan usaha untuk mendapatkan dan ayang cukup bagi rumah tangga mereka.

Migrasi bisa membantu mencapai tahap ini dengan cara mendekatkan orang-orang dengan peluang ekonomi dan lapangan kerja yang ada. Migrasi internal ke daerah-daerah perkotaan bisa dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi makro dan sekaligus merupakan strategi peningkatan pendapatan bagi masyarakat miskin.

”Migrasi sementara dianggap sebagai satu cara untuk memaksimalkan pendapatan keluarga dan meminimalkan risiko” (Stark, 1991 dalam Sudrajat, 2010). Migrasi antarnegara merupakan sumber lain peningkatan standar kehidupan kaum miskin (dalam konteks Indonesia mayoritasnya adalah Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Wanita). Sebagian besar gaji, baik dalam bentuk tunai atau barang dikirim kembali kepada anggota keluarga dan sanak saudara para pekerja migran. Pengiriman kembali gaji ini pada akhirnya menunjang ekonomi subsitens dan pendapatankeluarga buruh migran yang tetap tinggal di kampung halaman mereka. Uang kiriman tidak hanya meningkatkan pendapatan keluarga, yang sebagian besar disalurkan dalam bentuk investasi, pada gilirannya juga akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi daerah setempat. Penggunaan uang kiriman untuk konsumsi pribadi bahkan juga bisa merangsang permintaan, yang nantinya bisa menciptakan pasar di daerah asal dan pada akhirnya juga tercipta pekerjaan untuk para pekerja non-migran.

Jika pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai perwujudan dari tingkat pekerjaan dan pendapatan yang lebih tinggi, tabungan dan investasi yang lebih banyak dan juga pengentasan kemiskinan secara mantap, maka uang kiriman dari para pekerja migran dapat dilihat sebagai suatu mekanisme yang efektif dalam menyalurkan secara langsung uang tunai ke tangan orang miskin. Dan itu akan membantu mereka keluar dari kemiskinan.

1. Mobilitas

Di Indonesia, mobilitas individu meningkat pesat dalam dua dasawarsa terakhir sebagai konsekuensi logis dari perubahan besar dalam bidang sosial dan ekonomi. Selain itu migrasi terjadi karena ada perbaikan sarana transportasi. Data

sensus tentang migrasi selama tiga dasawarsa terakhir memperlihatkan bahwa migrasi antarpropinsi meningkat tajam dalam 30 tahun terakhir. Data tersebut juga memperlihatkan dalam tiga tahun terakhir jumlah pria yang pernah tinggal di provinsi yang bukan daerah asalnya meningkat 67,8 persen. Untuk wanita, kenaikannya lebih tinggi lagi, yakni 98,2 persen. Mobilitas individu lebih didorong oleh kepemilikan sepeda motor dan mobil yang lebih banyak, dan dengan perkembangan yang cepat dalam bidang transportasi publik.

2. Teori Migrasi

Penduduk yang melakukan migrasi tidaklah semata mata untuk berpindah tempat saja, tetapi hal itu dilakukan oleh karena dorongan dari tiga faktor yaitu:

a. Penarik.

b. Pendorong.

c. Kendala.

Pada tahun 1885 E.G. Ravenstin (Bogue, 1969: 755, dalam Suhardi, 2007) mempublikasikan yang dia sebut sebagai 7 hukum-hukum perpindahan penduduk (migrasi), yang terdiri dari:

a. Migrasi dan jarak, kebanyakan migran melakukan perpindahan dalam jarak dekat. Bila jaraknya bertambah maka jumlah migrant yang berpindah menurun.

b. Migrasi bertahap, penduduk semula pindah dari daerah pedesaan ke tepi kota besar sebelum masuk ke dalam kota besar tersebut.

c. Arus dan arus balik, tiap adanya arus migrasi akan terjadi juga migrasi arus balik.

d. Daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan), penduduk perkotaan kurang melakukan migrasi dibandingkan dengan penduduk daerah pedesaan.

e. Dominasi wanita pindah jarak dekat, dalam jarak dekat wanita pindah lebih banyak daripada laki-laki.

f. Teknologi dan migrasi, perkembangan teknologi cenderung meningkatkan migrasi.

g. Dominasi motif ekonomi, walaupun berbagai jenis faktor dapat mendorong terjadinya perpindahan akan tetapi keinginan untuk meningkatkan keadaan ekonomi merupakan kekuatan yang paling potensial.

Faktor pendorong (push) yang bersifat sentrifugal dan penarik (pull) yang bersifat sentripetal. Ardy (2008) mengungkapkan perpindahan dari daerah asal (area of origin) dimungkinkan oleh karena adanya beberap faktor pendorong yaitu:

a. Turunnya sumber daya alam.

b. Hilangnya mata pencaharian.

c. Diskriminasi yang bersifat penekanan atau penyisihan

d. Memudarnya rasa ketertarikan oleh karena kesamaan kepercayaan, kebiasaan atau kebersamaan perilaku baik antar anggota keluarga maupun masyarakat sekitar.

e. Menjauhkan diri dari masyarakat oleh karena tidak lagi kesempatan untuk pengembangan diri, pekerjaan atau perkawinan.

f. Menjauhkan diri dari masyarakat oleh karena bencana alam seperti banjir, kebakaran, kekeringan, gempa bumi, atau epidemic penyakit.

Perpindahan ke daerah tujuan (area of destination) dimungkinkan oleh karena adanya beberapa faktor penarik yaitu:

a. Kesempatan yang melebihi untuk bekerja sesuai dengan latar belakang profesinya dibandingkan di daerah asal.

b. Kesempatan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.

c. Kesempatan yang lebih tinggi memperoleh pendidikan atau pelatihan sesuai dengan spesialisasi yang dikehendaki.

d. Keadaan lingkungan yang menyenangkan, seperti cuaca perumahan, sekolah, da fasilitas umum lainnya.

e. Ketergantungan, seperti dari seorang isteri terhadap suaminya yang tinggal di tempat yang dituju.

f. Penyediaan untuk melakukan berbagai kegiatan yang berbeda atau yang baru dilihat dari berbagai sisi lingkungan, penduduk atau budaya masyarakat sekitar.

”Faktor pendorong dan penarik perpindahan penduduk ada yang negatif dan ada yang positif” (Abidin, 2010). Faktor pendorong yang positif yaitu para migran ingin mencari atau menambah pengalaman di daerah lain. Sedangkan faktor pendorong yang negatif yaitu fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup terbatas dan lapangan pekerjaan terbatas pada pertanian. Faktor penarik yang positif yaitu daerah tujuan mempunyai sarana pendidikan yang memadai dan lebih lengkap. Faktor penarik yang negatif adalah adanya lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi, kehidupan yang lebih mewah, sehingga apa saja yang diperlukan akan mudah didapat dikota.

Gambar 1. A Model of Migration

Sumber: Lee, 1965 (dalam Stoddard, 1986:76)

Everett Lee, membagi ada 4 faktor dalam teori migrasi yaitu (1) faktor yang berada di daerah asal, (2) faktor yang berada di daerah tujuan, (3) faktor yang bertindak sebagai intervening hambatan, dan (4) factor individu. Diantara keempat faktor tersebut, faktor individu merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk migrasi. Penilaian positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada individu itu sendiri (Stoddard, 1986:76).

Pada masing-masing daerah terdapat faktor-faktor yang menahan seseorang untuk tidak meninggalkan daerahnya atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut (faktor +), dan ada pula faktor-faktor yang memaksa mereka untuk meninggalkan daerah tersebut (faktor -).

Besarnya jumlah pendatang untuk menetap pada suatu daerah dipengaruhi

besarnya faktor penarik (pull factor) daerah tersebut bagi pendatang. Semakin maju kondisi sosial ekonomi suatu daerah akan menciptakan berbagai faktor penarik, seperti perkembangan industri, perdagangan, pendidikan, perumahan, dan transportasi. Kondisi ini diminati oleh penduduk daerah lain yang berharap dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Pada sisi lain, setiap daerah mempunyai faktor pendorong (push factor) yang menyebabkan sejumlah penduduk migrasi ke luar daerahnya. Faktor pendorong itu antara lain kesempatan kerja yang terbatas jumlah dan jenisnya, sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai,

fasilitas perumahan dan kondisi lingkungan yang kurang baik.

Everet S. Lee (1996, dalam Chotib, ___) menambahkan bahwa selain kedua faktor pendorong dan penarik tersebut terdapat juga faktor kendala antar daerah asal dengan daerah tujuan, yang kemudian dikenal dengan faktor-faktor penarik kebutuhan (demand pull) pendorong penyediaan (supply push) dan jejaring (network).

3. Migrasi Antar-Wilayah

Indonesia telah menerapkan program transmigrasi untuk memindahkan orang dari wilayah yang dekat dengan ibukota ke daerah yang lebih jauh. Dan ini telah berlangsung sepanjang abad ke-20. Namun program tersebut dihentikan pada tahun 2000 menyusul terjadinya krisis moneter karena pemerintah menganggap langkah itu tidak layak dan tidak tepat sasaran.

Pada tahun 1982 seiring dengan turunnya harga minyak, terjadi pergeseran ekonomi Indonesia ke arah penggalakkan investasi di bidang manufaktur. Dalam kurun waktu itu, penanaman modal dan penciptaan lapangan kerja hanya terpusat di pulau Jawa. Jadi tidaklah mengherankan bila pada paruh kedua tahun 1980-an arus migrasi ke Jawa meningkat tajam.

Pada awal tahun 1990-an, lebih banyak penduduk yang datang ke Jawa ketimbang yang keluar. Namun demikian, setelah krisis moneter, berdasarkan sensus tahun 2000, terjadi peningkatan migrasi ke luar Jawa dan adanya penurunan arus masuk migran dalam wilayah tersebut. Ini kemungkinan berkaitan dengan penurunan peluang kerja di daerah perkotaan Jawa setelah krisis tersebut, sehingga pulau-pulau lain menjadi lebih diminati oleh kaum migran (Hugo, 2002 dalam Heru, 2009).

Unsur penting yang mempengaruhi migrasi tenaga kerja di pulau-pulau Indonesia yang lain adalah pengembangan proyek skala besar berkaitan dengan penggalian dan pengolahan sumber daya alam seperti mineral, minyak bumi, pengolahan kayu dsb. ”Hasil sensus menunjukkan bahwa lebih dari seperlima dari seluruh migran antar propinsi merupakan migran yang kembali ke desa (return migrans)” (Hugo, 2002 dalam Heru, 2009). Kaum migran tersebut terdiri dari lebih 200 kelompok etnolingusitik yang berbeda, dan terdiri dari kelompok suku yang berbeda yang secara tradisi mempunyai alasan yang berbeda pula dalam melakukan migrasi. Namun demikian, perbedaanperbedaan tersebut semakin lama semakin mengecil karena perkembangan pendidikan dan semakin baiknya transportasi dan komunikasi.

4. Urbanisasi (Migrasi dari Desa ke Kota)

Salah satu tren yang paling mencolok dalam hal perpindahan penduduk yang menyebabkan perubahan distribusi penduduk adalah urbanisasi. Karena itu, untuk mengatasi kemiskinan dan memperluas lapangan kerja, penting ditekankan bahwa mayoritas penduduk Indonesia tinggal dan bekerja di daerah perkotaan. Dua unsur utama bisa dikemukakan di sini untuk menandai perubahan dimaksud:

  1. Pengklasifikasian ulang daerah-daerah dari pedesaan sampai perkotaan dimana sebagian penduduk telah berubah statusnya dari warga desa menjadi warga kota.
  2. Perpindahan dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan.

Kedua hal di atas sangat besar dampaknya terhadap pasar tenaga kerja, karena yang disebut terakhir melibatkan perpindahan dari satu pasar tenaga kerja ke pasar tenaga kerja yang lain. Sementara itu, yang disebut pertama mencerminkan terjadinya perubahan dalam pasar tenaga kerja karena meningkatnya peluang kerja di sektor nonpertanian yang menyebabkan banyak orang meninggalkan sektor pertanian. Ciri khas dari mobilitas desakota di Indonesia adalah meningkatnya peran wanita dalam perpindahan tersebut. Perlu dicatat bahwa sistem perkotaan Indonesia semakin didominasi oleh Wilayah Metropolitan Jakarta Raya.

Adapun yang menjadi ciri khas dari mobilitas desa-ke-kota adalah semakin meningkatnya peran wanita dalam perpindahan tersebut. Ada beberapa contoh perpindahan antar propinsi dimana jumlah kaum wanita lebih banyak dari jumlah pria. Para migran wanita yang berpindah ke kota ini terdiri dari dua jenis:

a. Wanita berpendidikan rendah, yang mencari kerja sebagai pembantu rumah tangga atau pada sektor informal

b. Wanita berpendidikan menengah yang bekerja di sektor formal, terutama di pabrik yang sedang berkembang di kawasan Botabek (Bogor, Tangerang, Bekasi) (Abidin, 2010).

5. Migrasi Tidak Tetap

Dari perspektif pengentasan kemiskinan, penting untuk diketahui bahwa sebagian besar mobilitas penduduk yang terjadi di Indonesia bersifat tidak tetap dan tidak terdeteksi dalam pengumpulan data standar. Walaupun tidak ada data berarti yang bisa diperoleh dalam sensus atau survei nasional, namun jelas bahwa kecepatan perpindahan tidak tetap terus bertambah dalam tiga dasawarsa terakhir. Kecepatan migrasi tidak tetap yang terus bertambah ini mejadi semakin penting artinya dalam satu dasawarsa terakhir seiring dengan membaiknya bidang transportasi, meningkatnya pendidikan, perubahan peran wanita dan meningkatnya pembangunan di daerah pedesaan dan daerah industri.

Ada beberapa sebab mengapa mereka memilih migrasi tidak tetap, di antaranya adalah hal-hal berikut ini:

a. Jenis strategi mobilitas seperti ini sangat cocok dengan partisipasi kerja di sektor informal perkotaan karena komitmen waktu yang fleksibel yang memungkinkan mereka mudik ke kampung halamannya lebih sering. Selain itu kemudahan memasuki sektor informal perkotaan juga turut menjadi pemicu.

b. Partisipasi dalam pekerjaan baik di sektor perkotaan maupun pedesaan menyebabkan risiko tersebar karena peluang sebuah keluarga memperoleh pendapatannya terdiverisifikasi.

c. Biaya hidup di daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah pedesaan membuat para pekerja banyak meninggalkan keluarga di desa. Upah dari kota dengan standar hidup pedesaan akan membuat merekamendapatkan keuntungan berlebih.

d. Kebutuhan untuk meningkatkan rasa aman dalam ekonomi keluarga dengan cara meningkatkan peluang memperoleh pendapatan terus meluas ke luar daerah dan wilayah-wilayah yang jauh.

e. Sistem penggangkutan di Jawa relatif murah, banyak jenisnya, dan memungkinkan pekerja kembali ke kampung halamannya dengan cepat.

f. Pekerjaan di desa, terutama pada masa panen tetap bisa dipertahankan. Dengan demikian risiko tersebar dalam beberapa sumber pendapatan.

g. Banyak pengusaha atau penyedia kerja di sektor informal dan formal di kota-kota besar, terutama di Jakarta, yang menyediakan pemondokan untuk para pekerjanya.

h. Seringkali perpindahan merupakan bagian dari strategi alokasi pekerja keluarga di mana sebagian anggotanya dikirim ke luar desa untuk memberian kontribusi kepada pendapatan keluarga yang berbasis di desa.

i. Dalam banyak kasus, ada kecenderungan sosial untuk tinggal dan membesarkan anak-anak di desa dimana pengaruh negatif dan non-tradisi diyakini tidak terlalu banyak.

j. Jaringan sosial merupakan hal yang penting dalam pengembangan bentuk migrasi seperti ini. Banyak para migran sementara melakukan perpindahan awal mereka dengan mengikuti para migran yang sudah berpengalaman atau mengikuti saudara atau teman yang sudah mapan di daerah tujuan (Supriatna, 2010).

Daerah-daerah yang paling umum dipilih oleh para migran untuk mencari pekerjaan sementara antara lain adalah sebagai berikut:

a. Daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam tambang, kehutanan, dan perkebunan

b. Proyek-proyek pembangunan skala besar

c. Daerah di perbatasan yang perkembangannya pesat (misalnya, Batam)

d. Daerah perkotaan

B. Dampak Krisis Keuangan

Mobilitas penduduk memainkan peran yang penting dalam penyesuaian diri pada awal krisis. Aristo 2008 mengemukakan bahwa krisis memiliki pengaruh serius antara lain adalah:

a. Meningkatnya mobilitas karena banyak orang yang berpindah dalam jarak yang jauh untuk mencari sumber pendapatan alternatif dan pendapatan tambahan. Perpindahan penduduk digunakan sebagai satu strategi untuk mengatasi dampak krisis.

b. Sebagian orang kembali ke desa tapi hal itu biasanya bersifat sementara, sedangkan tulang punggung (pencari nafkah) tetap tinggal di kota.

c. Peningkatan yang tidak terlalu berarti dalam hal migrasi dari Jawa ke pulau-pulau yang lain.

Krisis tersebut juga berdampak terhadap sebagian besar daerah pedesaan karena berbagai sebab:

a. Banyak rumah tangga pedesaan yang sangat tergantung pada uang kiriman dari sanak saudaranya yang bekerja di kota atau pekerja di luar sektor pertanian. Jadi, dampak dari hilangnya pekerjaan di daerah perkotaan sangat besar terhadap sektor pedesaan, dengan berkurangnya jumlah uang kiriman kepada rumah tangga dan berkurangnya jumlah uang yang beredar di daerah-daerah pedesaan.

b. Sampai tahap tertentu, keluarga yang memiliki banyak tanah terlindung dari krisis karena naiknya harga makanan dan komoditas seperti kakao, cengkeh, dsb. Namun demikian, harus pula diingat bahwa jumlah keluarga yang memiliki tanah yang luas merupakan minoritas penduduk yang tinggal di pedesaan.

Di samping itu krisis ekonomi menandai migran yang kembali ke desa dalam jumlah yang cukup signifikan. Tapi sepertinya para warga kota menyikapi krisis bukan dengan cara kembali selamalamanya ke desa asal mereka, tapi warga kota yang merupakan migran generasi pertama lebih memilih pulang dan pergi dari/ke rumah mereka di kota ke/dari tempat kelahiran dan memperoleh pekerjaan apa saja di kedua tempat tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa mobilitas penduduk telah menjadi mekanisme penanggulangan (coping mechanism)

yang penting bagi banyak warga Indonesia dalam menyiasati dampak krisis.

Ø Migrasi Antarnegara

Dalam beberapa dekade terakhir ini, Indonesia telah menjadi salah satu pemasok utama tenaga kerja tidak terampil di pasar internasional. Negara-negara yang menjadi tujuan antara lain negara Asia dan negara-negara di Timur Tengah. Timur Tengah menyerap sepertiga dari buruh migran Indonesia. Ada semacam titik balik ketika krisis ekonomi mulai melanda dan berkerja di luar negeri merupakan salah satu strategi yang ditempuh untuk mengatasi krisis tersebut (Hugo, 2000 dalam Heru, 2009).

Menarik untuk diperhatikan bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri dipilih secara selektif dari kelompok-kelompok dan daerah-daerah tertentu. Hal ini terutama disebabkan oleh semakin pentingnya migrasi berantai. Jadi dampak migrasi tenaga kerja internasional terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia, dan walaupun dampak migrasi tenaga kerja internasional tersebut di tingkat nasional terbatas, ia tetap saja merupakan persoalan penting di sebagian daerah dan di banyak masyarakat.

Aspek-aspek migrasi tenaga kerja internasional yang bisa disebutkan dalam hubungan dengan pengentasan kemiskinan antara adalah sebagai berikut:

a. Pekerja Kontrak di Luar Negeri (The Overseas Contract Workers/OCWs) diserap dari daerah pedesaan dan beberapa di antaranya dari wilayah yang paling miskin.

b. Sebagian besar Pekerja Kontrak di Luar Negeri (OCW) adalah mereka yang tidak punya keterampilan dan setengah terampil.

c. Sebagian besar OCW resmi adalah wanita, namun belakangan jumlah pekerja wanita migran yang tidak memiliki dokumen resmi meningkat secara signifikan.

d. Orang Indonesia seringkali harus mengeluarkan banyak biaya untuk dapat bekerja di luar negeri karena mereka harus membayar perantara swasta dan aparat pemerintah.

e. Masalah pelatihan dan bekal untuk bekerja di luar negeri masih belum begitu diperhatikan.

f. Perlindungan terhadap tenaga kerja di luar negeri masih sangat minim.

g. Uang kiriman dari OCWs jumlahnya tidak terlalu berarti, tapi pengaruhnya terhadap keluarga, masyarakat, dan wilayah setempat cukup besar.

h. Adanya industri perdagangan wanita yang semakin marak (Gunawan, 2008).

Peluang migrasi tenaga kerja internasional sepertinya meningkat dan ada peluang untuk menggunakan ini untuk membantu memerangi kemiskinan di Indonesia. Namun demikian, sistem migrasi tenaga kerja internasional di Indonesia perlu diperbaiki secara substansial jika kita menghendaki keuntungan akan mengalir kepada para pekerja migran, keluarga mereka, dan komunitas mereka. Tingkat rente dalam urusan ini di Indonesia masih sangat tinggi.

Sistem migrasi tenaga kerja internasional terhalang oleh sejumlah masalah yang membatasi mereka yang ingin melakukannya sementara sebagian pekerja lain malah mengalami lebih banyak kesulitan. Proses mendapatkan dokumen yang diperlukan dan ijin berangkat sangat menyita waktu. Padahal, mereka biasanya datang dari pedesaan, sehingga pengurusan yang memakan waktu memaksa mereka menunggu berbulan-bulan sebelum meninggalkan Indonesia. Biaya yang harus ditanggung mereka seringkali sangat besar. Sebagian dari mereka juga diperlakukan tidak senonoh di tempat tujuan dan juga oleh lembaga/ orang yang merekrut mereka di negeri mereka sendiri.

Karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk memperbarui sistem yang ada. Beberapa bidang utama yang perlu diperbaiki menurut Suherman (2008) antara lain:

a. Penyediaan informasi yang akurat, tepat waktu dan sesuai kepada para calon pekerja migran tentang biaya yang harus mereka bayar; perkiraan gaji mereka dan kondisi negara yang menjadi tujuan.

b. Pengawasan yang efektif terhadap lembaga/orang yang merekrut serta makelar sehingga jumlah uang komisi, ongkos perjalanan dan biaya rekrutmen berada pada kisaran yang realistis.

c. Proses perekrutan yang berbelit-belit harus disederhanakan, dibuat lebih cepat dan memperkecil peluang korupsi.

d. Desentralisasi proses persetujuan untuk para migran sehingga mereka tidak harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk meminta ijin berangkat.

e. Meningkatkan upaya perlindungan terhadap pekerja migran di luar negeri. Perlindungan ini terutama diperlukan oleh pekerja wanita yang sebagian besar adalah pekerja resmi, tapi kebanyakan dari mereka bekerja di sektor-sektor yang berada di luar jangkauan perlindungan buruh yang normal.

f. Meningkatkan keamanan pengiriman uang para buruh migran.

Di Indonesia, salah satu aspek penting dalam hal pekerja migran di luar negeri adalah bahwa walaupun jumlah mereka terus meningkat, sebagian besar dari mereka tetap tidak terdaftar (gelap). Para migran cenderung memilih jalur tidak resmi karena:

a. Sistem yang resmi terlalu mahal, melibatkan banyak unsur yang tidak resmi.

b. Sistem yang resmi memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan migrasi yang tidak terdaftar.

c. Sistem yang tidak terdaftar seringkali lebih dipercaya karena agen perekrut atau penyalur biasanya tinggal di desa asal tenaga kerja (Suherman, 2008).

Karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk memperbaiki sistem yang resmi sehingga sistem yang tidak resmi jadi kelihatan mahal dan kurang menarik minat calon tenaga kerja migran.

C. Rekomendasi-rekomendasi Kebijakan dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

Sudah menjadi kenyataan bahwa mobiltas penduduk berperan penting dalam perekonomian dan masyarakat Indonesia. Perpindahan penduduk merupakan strategi penting yang digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi. Banyak orang Indonesia yang mampu berpindah dengan menempuh jarak yang sangat jauh di dalam dan di luar negeri dengan maksud untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

1. Migrasi Internal:

  1. Di kalangan kelompok yang lebih miskin, adalah suatu hal yang umum untuk mengalokasikan tenaga kerja keluarga ke berbagai macam pekerjaan di berbagai lokasi dengan maksud menyebarkan risiko pendapatan, sehingga pendapatan tersebut minimal bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Sering dengan membaiknya sarana transportasi dan meluasnya jaringan sosial, alokasi semacam ini terus meluas dan makin meluas. Implikasi kebijakan yang harus diupayakan pemerintah adalah menyingkirkan hambatan di seputar perjalanan dalam negeri di Indonesia dan mendorong mobilitas pekerja semaksimal mungkin. Investasi pemerintah dalam prasarana angkutan dan upaya untuk menghindari pembebanan biaya yang tinggi dalam industri pengangkutan menjadi sangat penting.
  2. Menghindari kebijakan dan inisiatif yang tidak kondusif bagi migrasi sirkuler (circular migration). Bentuk mobilitas tidak tetap memungkinkan keluarga untuk tetap tinggal di daerah-daerah dimana mereka memiliki sistem pendukung yang kuat namun memungkinkan masing-masing keluarga untuk pindah ke luar daerah tersebut untuk memperoleh penghasilan dan mengirimkannya ke keluarga mereka yang tinggal di desa.
  3. Wanita semakin banyak terlibat dalam mobilitas tenaga kerja internal di Indonesia, sehingga perlu dicamkan bahwa seluruh program tersebut dirancang sedemikian rupa untuk membantu agar mobilitas internal memiliki komponen jender dan sekaligus peka jender.
  4. Penggalakan kebijakan yang ramah migran di tempat tujuan di mana terdapat peluang kerja yang terus bertambah juga tidak kalah pentingnya. Ini bisa mencakup pembangunan asrama/pemondokan untuk menampung pekerja migran dan membuat kebijakan ketenagakerjaan yang tidak kaku yang memungkinkan seorang pekerja migran digantikan oleh seseorang yang berasal dari desa mereka pada saat pekerja migran pertama mudik ke kampungnya.
  5. Sarana yang aman dan terpercaya yang diperlukan oleh migran internal untuk mengirimkan uang penghasilan mereka tanpa biaya mahal.
  6. Kebutuhan untuk meningkatkan informasi tentang pasar tenaga kerja, yaitu arus informasi yang selalu siap mengenai peluang kerja, lokasi, keterampilan yang dibutuhkan dan imbalan yang akan diterima.

2. Migrasi antar Negara

Jelas terlihat bahwa sebagian besar orang Indonesia masih mempertimbangkan kemungkinan untuk bekerja di luar negeri. Lagipula OCW Indonesia sebagian besar berasal dari daerahdaerah miskin di negeri ini. Dengan demikian, ada potensi lumayan besar untuk menjadikan migrasi tenaga kerja antar negara sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan. Berikut adalah beberapa rekomendasi yang diusulkan:

a. Mengurangi praktek pengambilan untung yang berlebihan dalam sistem ini, yang terjadi sebelum migrasi dilakukan, di tempat tujuan dan pada saat mereka kembali. Para pialang seringkali merupakan biang kerok dari praktek semacam ini. Untuk menghindari hal demikian, perlu disediakan informasi yang lebih akurat kepada calon pekerja migran dan untuk melindungi hak-hak mereka.

b. Oleh karena itu, migrasi tenaga kerja harus dipermudah, disederhanakan, didesentralisasi, dan praktek pengambilan keuntungan yang berlebihan birokrasi yang tidak perlu harus dibasmi. Calon tenaga kerja migran perlu diberdayakan untuk mengantisipasi korupsi dan pungutan liar lainnya.

c. Tenaga kerja migran harus diberi informasi yang akurat dan lengkap tentang apa saja yang akan dihadapi oleh tenaga kerja migran di luar negeri sehingga mereka bisa melakukan pertimbangan dengan baik sebelum membuat keputusan untuk pergi atau tidak.

d. OCW harus dilindungi ketika mereka berada di luar negeri, sehingga mereka tidak dieksplotasi semena-semena; ini berarti, khususnya bagi wanita yang bekerja di rumah tangga di luar negeri. Wanita menanggung risiko lebih besar untuk diekpsloitasi dibandingkan dengan laki-laki karena sifat pekerjaan yang mereka masuki sangat tegas dalam hal pemisahan jender. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan dan program-program perlu dibuat sedemikian rupa supaya peka jender.

e. OCW harus memiliki sarana yang aman dan terpercaya untuk mengirimkan uang kepada keluarga mereka yang tinggal di Indonesia. Seringkali tenaga kerja ini terpaksa mengeluarkan biaya lumayan besar untuk ini. Di samping itu, uang kiriman tersebut sebaiknya dilihat sebagai dana potensial untuk kegiatan pembangunan di wilayah-wilayah yang mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri. Dengan demikian, kebijakan dan program tersebut perlu dimasukkan ke dalam prakarsa pembangunan daerah.

f. Berbagai upaya yang ditempuh untuk memberantas perdagangan manusia harus dilakukan, yang mencakup kebutuhan untuk menggalakkan sistem migrasi antar negara yang resmi, yang membuat sistem ini menjadi lebih murah, lebih cepat dan lebih menarik dibandingkan dengan cara-cara yang tidak resmi/liar yang dipilih oleh pekerja migran dalam mencari pekerjaan di luar negeri.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Migrasi dianggap sebagai sebuah alternatif untuk keluar dari jerat kemiskinan. Ada tradisi yang panjang di tengah masyarakat Indonesia dalam menyikapi kemiskinan melalui strategi mobilitas tertentu. Ada beberapa factor yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan migarsi yaitu, faktor yang berada di daerah asal, faktor yang berada di daerah tujuan, faktor hambatan, dan faktor individu. Diantara keempat faktor tersebut, faktor individu merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk migrasi. Penilaian positif atau negatif terhadap suatu daerah tergantung kepada individu itu sendiri. Mobilitas penduduk telah menjadi mekanisme penanggulangan (coping mechanism) yang penting bagi banyak warga Indonesia dalam menyiasati dampak krisis. Rekomendasi kebijakan dalam pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan migrasi internal dan migrasi antar negara.


DAFTAR RUJUKAN

Abidin, Muhamad Zainal. 2010. Makalah Mobilitas Penduduk. Online diakses di http://meetabied.wordpress.com/2010/01/14/makalah-mobilitas-penduduk/ pada tanggal 18 Maret 2011.

Ardy. 2008. Faktor Pendorong dan penarik Migrasi. Online dikases di http://www.docstoc.com/docs/downloadDoc.aspx?doc_id=22706636 pada tanggal 20 November 2010.

Aristo. 2008. Krisis dan Pengaruhnya terhadap Mobilitas. Online dikases di http://www.docstoc.com/docs/downloadDoc.aspx?doc_id=22706636 pada tanggal 18 Maret 2011.

Chotib. _____. Mobilitas Penduduk: Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Online diakses http://www.docstoc.com/docs/downloadDoc.aspx?doc_id=26770454 pada tanggal 20 November 2010.

Gunawan, 2008. Terbebas dari Kemiskinan: Masukan ILO atas PRSP Indonesia. Online diakases di http://www.docstoc.com/docs/downloadDoc.aspx?-doc_id=22705578 pada tanggal 18 Maret 2011.

Heru. 2009. Migrasi di Indonesia. Online diakses di http://heru.-suarakita.com/2009/migrasi-indonesia/ pada tanggal 20 18 Maret 2011.

Setiawan. 2010. Mobilitas Tenaga Kerja di Indonesia. Online diakses di http://www.docstoc.com/docs/downloadDoc.aspx?doc_id-=22698340 pada tanggal 18 Maret 2011.

Stoddard, Robert. H, Brian W. Blouet, David J. Wishart. 1986. Human Geography: People, Places, and Cultures. New Jersey: Prentice Hall.

Sudrajat, Akhmad. 2010. Migrasi. Online diakses di http://www.docstoc.com/docs/downloadDoc.aspx?doc_id-=22698340 pada tanggal 18 Maret 2011.

Suhardi, 2007. Perpindahan penduduk (Migrasi). Online diakses di http://suhardi-.blogspot.com/2007/6/perpindahan-penduduk.html pada tanggal 20 November 2010.

Supriatna, Dadang. 2010. Faktor Migrasi. Suhardi, 2007. Perpindahan penduduk (Migrasi). Online diakses di http://dadang-.blogspot.com/2010/6/faktor-migrasi.html pada tanggal 18 Maret 2011.

Suherman. 2008. Kesulitan TKI. Suhardi, 2007. Perpindahan penduduk (Migrasi). Online diakses di http://suherman-.blogspot.com/2008/9/Kesulitan-tki.html pada tanggal 18 Maret 2011.

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
ehm.. gimana y?? klo g knal g syang.. gtu... gamapangkan...