BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asia Barat adalah wilayah bagian barat benua Asia. Menurut Wikipedia (2010) istilah ”Asia Barat lebih sering digunakan dalam tulisan mengenai arkeologi dan masa prasejarah pada kawasan tersebut”. Asia barat adalah ”tempat kelahiran banyak peradaban penting dan agama besar dunia, seperti islam, kristen, dan yahudi” (Ensiklopedia, 2007:244). Hingga saat ini, sejumlah tempat ini masih bergejolak. Sengketa perbatasan, konflik etnik dan agama, perjuangan untuk meraih kedaulatan, serta invensi kekuatan asing menandai pergolakan tersebut. Salah satu konflik yang terjadi adalah konflik antara israel dan palestina.
Konflik Israel dan Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad keduabelas (Bankulon, 2009). Konflik yang telah ber-langsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita per-hatian masyarakat dunia. Pada akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan beberapa waktu terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.
Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Israel juga mulai melakukan serangan darat dengan alasan ingin melucuti sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut (Bankulon, 2009).
Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir benar-benar menarik perhatian banyak pihak, tidak hanya dari kalangan masyarakat muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia terhadap kondisi Palestina yang menjadi korban agresi meliter Israel diwujudkan dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta obat-obatan. Namun dari sekian banyak bentuk solidaritas yang ditujukan pada korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam. Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina, beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya sebagai pasukan jihad.
Hal ini dapat dikatakan, bahwa konflik Israel dan Palestina berhasil mem-bangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama. Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah "jihad" sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang dilakukan di jalan Allah. Fakta lain adalah faktor politik yang ada dalam konflik Israel dan Palestina. Fakta ini dibuktikan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada Israel. Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel dan Palestina yang ditolak Amerika dengan vetonya.
Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Dalam kasus Israel dan Palsestina, aspek politik bukanlah satu-satunya pandangan yang dapat digunakan untuk menganalisis konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik Israel dan Palsetina murni sebagai konflik politik, sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel dan Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi dan Islam, akan tetapi kekayikan terhadap tanah yang dijanjikan sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
- Bagaimana sejarah kuno bangsa Israel dan bangsa Palestina?
2. Apa yang menjadi akar permasalahan konflik Israel dan Palestina?
- Bagaimana konflik Israel dan palestina?
- Bagaimana analisis konflik Israel dan Palestina dengan dimensi politik dan teologis?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan malalah yang telah dipaparkan, adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
- Mengetahui sejarah kuno bangsa Israel dan bangsa Palestina.
2. Mengetahui akar permasalahan konflik Israel dan Palestina.
- Menguraikan konflik Israel dan palestina.
- mengetahui analisis konflik Israel dan Palestina dengan dimensi politik dan teologis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Kuno Israel dan palestina
1. Israel
Israel adalah sebuah ”negara di Timur Tengah yang dikelilingi Laut Tengah, Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir dan gurun pasir Sinai” (Wikipedia, 2010). Menurut kisah kitab-kitab suci umat Islam, Kristen, maupun Yahudi, bangsa Arab dan Yahudi sesungguhnya serumpun, yakni keturunan Nabi Ibrahim, seorang nabi yang karena imannya meninggalkan Mesopotamia menuju sebuah tanah asing yang dijanjikan Tuhan, yakni Kanaan (disebut demikian karena wilayah ini pernah dikuasai oleh bangsa Kenite, namun pernah juga di sebut Palestina ketika bangsa Filistin menguasainya). Bangsa Arab yang sejak semula menetap di Jazirah Arabia berasal dari keturunan putra Nabi Ibrahim yang tertua (Ismail). Sedang dari putra kedua (Ishak), turun ke Nabi Yakub, yang salah satu di antara keturunannya adalah Yehuda (kerap disebut Yahudi).
Sejarah bangsa Israel di Palestina telah dimulai sekitar abad 14 sebelum masehi. Kerajaan Israel yang pertama berkembang di masa pemerintahan Nabi Daud, yang membangun kota benteng di atas bukit Zion, yang dinamai Yerusalem. Kerajaan Israel menacapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Nabi Sulaiman putra Daud (sekitar 975 – 935 SM). Di zaman inilah didirikan bangunan suci Israel yang megah di Yerusalem, yang disebut disebut Baitullah atau Heikal Sulaiman, yang kemegahannya selalu dikenang oleh bangsa Yahudi sepanjang masa (Jenny, 2008).
Sepeninggal Sulaiman kerajaan Israel cepat mundur karena perpecahan, sehingga sejak abad 8 SM, bangsa Israel berturut-turut silih berganti dijajah Bangsa Assyiria, Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi. Ketika pada tahun 586 SM bangsa Babilonia menyerang Israel, Kota Yerusalem dan Baitullah dihancurkan, dan ribuan orang Israel dijadikan budak.
Pada tahun 70 SM, bangsa Romawi berhasil menguasai wilayah tersebut dan hampir separuh penduduk terbunuh dan sisanya dievakuasi. Namun bisa diredam oleh Jenderal Vespasianus, dan untuk kedua kalinya Kota Yerusalem dibakar. Sejak peristiwa itu, banyak orang-orang Yahudi makin tersebar di mana-mana (diaspora) (Jenny, 2008).
Kemudian secara diam-diam orang Arab berusaha kembali, begitu pula dengan bangsa Yahudi. Palestina kemudian direbut oleh Kerajaan Islam Arab di bawah pimpinan Khalifah Umar (+ 600 tahun M). Orang-orang Arab berdatangan ke kota Yerusalem dan mengembangkan agama Islam. Meskipun Yerusalem berada di bawah kekuasaan Islam, namun orang-orang Arab memberikan toleransi yang besar kepada orang-orang Kristen dan bangsa Yahudi untuk beribadah dan belajar bahasa Arab.
Setelah orang-orang Yahudi pergi meninggalkan negeri mereka dan tersebar di berbagai negeri, sehingga jumlah penduduk Yahudi di Palestina semakin menipis; sedang penduduk Arab yang semula pendatang semakin bertambah banyak. Tetapi sejak akhir abad ke-19, orang-orang Yahudi berhasil masuk ke Palestina berkat dukungan gerakan Zionisme (1877) yang diprakarsai oleh Theodore Herzl (1860-1904). Zionisme pada awalnya adalah gerakan keagamaan yang kemudian dipolitisasi sehingga menjadi sebuah gerakan politik yang radikal (Jenny, 2008).
2. Bangsa Palestina
Bangsa Philistine (Filistin) adalah ”suatu bangsa pelaut, campuran berbagai macam etnis dari Turki dan Yunani (pulau Crete) yang berlayar dari Laut Aegea menuju wilayah Laut Mediterranea timur” (Hamasiah, 2009). Bangsa Palestina bukan orang Palestina, bukan bangsa Palestina, melainkan adalah orang-orang Arab yang tinggal, lahir, atau bekerja di tanah Palestina (Cikeas, 2007). Sebelum Islam berkembang di abad 7 M, telah banyak saudagar Arab bermukim di Palestina. Setelah Islam berkembang dan Khalifah Umar bin Khattab berhasil merebut Palestina dari tangan Romawi, banyak orang Arab menetap di Palestina. Negeri Palestina dengan kota Yerusalemnya memang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan beragama umat Islam, mengingat Yerusalem juga merupakan lokasi salah satu bangunan suci umat Islam, yaitu Masjidil Aqsa (Baitul Maqdis). Mesjid ini merupakan salah satu dari tiga masjid utama Islam yang disucikan, selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Di Masjidil Aqsa inilah Nabi Muhammad SAW memperlihatkan mukjizat Mi’rajnya. Setelah bangsa Arab menetap berabad-abad di Palestina, mereka berkembang menjadi mayoritas. Wajar jika mereka kemudian menganggap Palestina sebagai negeri dan tanah airnya.
Saat Palestina dikuasai Turki pada 1517 – 1919, orang-orang Yahudi mulai kembali menetap di Palestina. Sampai 1914, penduduk Yahudi baru berjumlah 90.000 orang diantara mayoritas penduduk Arab. Meski demikian kedua bangsa itu bisa hidup berdampingan secara damai. Pertentangan Arab - Palestina baru terjadi sejak Palestina dikuasai Inggris (1920 – 1948), yaitu saat imigran-imigran Yahudi membanjiri Palestina dengan membawa cita-cita Zionisme; suatu cita-cita yang mengancam hak hidup bangsa Arab-Palestina di negeri dan tanah airnya sendiri.
B. Zionisme Sebagai Akar Permasalahan Palestina
1. Pengertian Zionisme
Nama Zionisme berasal dari kata Zion, yaitu nama sebuah kawasan di Jerusalem yang menjadi pusat pergerakan orang-orang Yahudi. Lama kelamaan, Zion dirujuk kepada Yerusalem, dan kemudian merujuk pula kepada pemikiran bahwa Yahudi sebagai kaum terpilih (Jenny, 2008). Karen Armstrong (dalam Marheindy) menyebutkan, Zionisme sebagai gerakan untuk membangun tanah air. Yahudi di Palestina, merupakan respon kaum Yahudi terhadap modernisasi yang paling imajinatif dan paling luas jangkauannya. Oleh karenanya, Zionisme hanya dapat dipahami sebagai gerakan untuk membangun negara Israel yang dalam faktanya menjadi gerakan paling berpengaruh, namun tetap saja Zinonisme tidak dapat diklaim sebagai seluruh orang Yahudi. Wikipedia mengatakan bahwa ”Gerakan zionisme yang muncul di abad ke-19 ingin mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah yang kala itu dikuasai Kekaisaran Ottoman (Khalifah Ustmaniah) Turki” (Wikipedia, 2010).
Zionisme merupakan gerakan Yahudi Internasional (Wikipedia, 2010). Tujuan Zionisme adalah untuk menciptakan sebuah kediaman bagi bangsa Yahudi di Palestina yang dijamin oleh hukum publik. Istilah Zionisme pertama kali dipakai oleh perintis kebudayaan Yahudi, Mathias Acher (1864-1937), dan gerakan ini diorganisasi oleh beberapa tokoh Yahudi antara lain Dr. Theodor Herzl dan Dr. Chaim Weizmann. Dr. Theodor Herzl menyusun doktrin Zionisme sejak 1882 yang kemudian disistematisasikan dalam bukunya "Der Judenstaat" (Negara Yahudi) (1896). Doktrin ini dikonkritkan melalui Kongres Zionis Sedunia pertama di Basel, Swiss, tahun 1897 (Jenny, 2008).
2. Faktor Pendorong Munculnya Zionisme
Proses tersebarnya bangsa Yahudi ke seluruh dunia telah berjalan sejak selesainya masa pembuangan di Babilonia pada abad 6 SM. Di awal abad 1 Masehi saja, diperkirakan terdapat lima juta orang Yahudi yang tersebar di wilayah kekaisaran Romawi. Bangsa Yahudi adalah salah satu bangsa di dunia ini yang memiliki kesadaran rasial dan nasionalisme yang amat kuat. Meski negara mereka telah hancur dan telah berabad-abad menetap di negeri orang, mereka tetap memelihara identitas mereka sebagai orang Yahudi. Hal yang memungkinkannya adalah karena tedapat ikatan keagamaan yang amat kuat, yang di dalamnya terpatri pula kesadaran sejarah nenek moyangnya di masa lampau.
Kaum Yahudi yang hidup di Eropa seringkali menderita penindasan oleh masyarakat Eropa karena mereka dianggap sebagai kaum elit. Pemimpin-pemimpin bisnis Yahudi cenderung memberikan jabatan kepemimpinan diantara orang-orang Yahudi, dan banyak orang Yahudi yang tidak berusaha untuk berbaur secara sosial dengan masyarakat non-Yahudi. Keberhasilan keuangan kaum Yahudi juga menyebabkan mereka punya pengaruh politik. Selain itu, kaum Yahudi percaya bahwa mereka adalah bangsa pilihan. Hal-hal ini menyebabkan timbulnya sikap anti-Semitisme di Eropa, dan puncaknya adalah Holokaus oleh Nazi Jerman di Perang Dunia II.
Akibat dari penindasan di Eropa, timbulah gerakan Zionisme yang muncul pada abad ke-19. Dua hal yang menjadi ciri menonjol Eropa abad ke-19, yakni rasisme dan kolonialisme, telah pula berpengaruh pada Zionisme (Yahya, 2006). Gagasan rasis, terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan mendapatkan banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat pengaruh kuat rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.
Zionisme intinya adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Yahudi dan ini disebut sebagai “Tanah Air Negara Yahudi”. Kaum Zionis awal berurusan dengan masalah politik dan pemeliharaan budaya Yahudi. Kebanyakan pemimpin utama kelompok ini adalah Yahudi sekuler dan bukan Yahudi religius, misalnya Dr. Theodor Herzl yang merupakan seorang wartawan Yahudi yang sangat berpemikiran sekular. Zionisme bertujuan untuk mendirikan Negara Israel, dan mengajak semua Yahudi di dunia untuk tinggal di sana (Jenny, 2008).
Gerakan Zionis terpecah diantara kaum Yahudi yang di satu pihak menginginkan tanah air yang sekuler dan di lain pihak menginginkan tanah air yang berdasarkan aturan agama. Pada mulanya Herzl belum menegaskan di mana letak tanah air bangsa yahudi akan dibangun. Mula-mula disebut Argentina atau Palestina, dan Inggris yang menawarkan Uganda sebagai tempat tinggal bangsa Yahudi. Tetapi dalam kongres kaum Zionis pertama di Basel, Swiss tahun 1897, mereka menetapkan Palestina sebagai pilihannya. Banyak kaum Zionis yang menganggap Palestina sebagai negara religius mereka, karena terdapat Haikal Sulaiman yang merupakan kebanggaan bagi kaum Yahuni. Kaum religius Yahudi mengatakan bahwa di bawah tanah Masjidil Aqsha-lah sebelumnya Haikal Sulaiman berdiri. Banyak kaum religius Yahudi yang menganggap sudah kewajiban mereka untuk menguasai tanah mereka, sama seperti yang tertulis di kitab suci mereka ketika kakek moyang mereka menghadapi bangsa Filistin dan Kanaan. Para pemimpin politik sekuler lalu mulai menggunakan pesan-pesan religius untuk mensahkan tindakan politik mereka.
Di akhir Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman (Turki Utsmani) kalah dan Inggris berkuasa atas tanah Palestina melalui mandat dari Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations). Inggris kemudian terlibat dalam persetujuan-persetujuan yang saling bertentangan yakni negara Yahudi di Palestina dan juga Palestina yang dikuasai oleh Arab saja. Tidaklah mungkin bagi Inggris untuk memenuhi perjanjian-perjanjian ini seluruhnya.
Genocide atas bangsa Yahudi oleh Nazi Jerman yang diperkirakan lima juta orang Yahudi tewas dibantai, semakin membulatkan niat bangsa Yahudi untuk mewujudkan cita-cita Zionis mereka. Gelombang imigrasi Yahudi ke Palestina, baik legal maupun ilegal, tidak bisa lagi dibendung. Organisasi-organisasi gerilya Yahudi semakin bertambah kuat dan brutal. Perkembangan situasi di Palestina pasca Perang Dunia 2 semakin mencemaskan. Tanah Palestina saat itu dihuni oleh sekitar setengah juta orang. Kaum mayoritas adalah para petani dan pekerja Arab yang tinggal di daerah pedesaan. Begitu gerakan Zionisme berkembang, penghuni-penghuni Yahudi mulai membeli lahan-lahan tanah yang luas dari pemilik tanah Palestina. Masyarakat Yahudi juga mulai meninggalkan Eropa dan bermukim di Palestina, dan ini mengakibatkan timbulnya nasionalisme Arab di seluruh daerah Palestina.
C. Mengurai Konflik Israel-Palestina
Konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membenci Yahudi dengan segala macam "derivasinya". Sikap anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikan Islam.
Kerukunan yang terjalin antara umat Islam dan Yahudi bukan berarti tanpa konflik. Ketika pengaruh Muhammad semakin kuat dan daya imbau agama yang diajarkannya semakin terasa di kalangan Yahudi, para pemuka agama Yahudi mulai mengabaikan perjanjian damai yang pernah dibuat dengan umat Islam. Pengabaian terbuka atas perjanjian itu ditandai dengan masuk Islamnya Abdullah bin Salam, seorang rabi terpandang Yahudi yang sempat membujuk keluarganya untuk masuk ke agama Islam. Kondisi ini membuat Yahudi merasa terancam dan mulai melancarkan serangan teologis terhadap Muhammad dengan sejumlah pertanyaan dan perdebatan mengenai pokok-pokok dasar agama Islam. Kebijakan resmi untuk memerangi Yahudi digariskan Muhammad sejak pristiwa pelecehan seorang wanita muslim oleh sekelompok Yahudi bani Qainuqa. Sejak saat itu, satu persatu kelompok Yahudi diusir dari Madinah karena terbukti mendukung pihak Makkah. Kondisi ini sebagaimana ditulis Hamid Basyaib jelas menunjuk-kan pertikaian yang disebabkan oleh masalah politik (dalam Marhaendy).
Hingga terjadi konflik Israel dan Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi dan Islam. Konflik politik misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai. Seperti ditulis Trias Kuncahyono, Israel selalu mengatakan posisi legal internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922, dalam Marhaendy). Di pihak lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem (al Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu. Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah Palestina bukan sekedar menyangkut latar belakang sejarah dan wilyah politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua pihak.
Trias Kuncahyono (dalam, Marhaendy) menuliskan, pembagian Jerusalem menjadi bagian Israel dan bagian Palestina sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah dirubah menjadi peta politik. Meskipun peta tersebut telah terbagi sebagai wilayah yang dihuni orang-orang Israel dan wilayah lain yang dihuni orang-orang Palestina, Jerusalem akan semakin sulit dibagi karena merupakan simbol tiga agama besar yang letaknya saling berdekatan. Jerusalem adalah pusat Yudaisme, tempat disalibnya Yesus dan kebangkitan serta kenaikannya ke surga, dan tempat yang diyakini umat Islam sebagai bagian dari perjalanan spiritualitas Muhammad ketika mengalami perjalanan malam dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha dan naik ke Sidratul Munthaha.
Yahudi menganggap Palestina sebagai "tanah yang dijanjikan" dan mayoritas mereka meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel sebagai intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini tertindas. Pandangan ini mengakibatkan pergeseran paradigma politik yang mewarnai konflik Israel-Palestina ke paradigma teologis. Apalagi, mitos yang kerap dikembangkan untuk memberikan identitas pada Yahudi, adalah: "bangsa tanpa tanah untuk tanah tanpa bangsa". Streotipe tentang Yahudi sebagai "bangsa yang terusir dari tanahnya" ini juga telah berhasil membentuk konsep teologis orang-orang Yahudi, bahwa seperti ditulis Karen Armstong (dalam Marhaendy) bahwa ”Tuhan memulai penciptaan dengan tindakan yang kejam karena keinginan untuk membuat dirinya dikenal oleh para makhluknya. Keterkucilan dan pengasingan Yahudi bahkan pernah di alami Adam sebelumnya, karena dosa yang dilakukan Adam membuat ia terusir dari surga. Demikian Yahudi, mengembara ke seluruh penjuru dunia, menjadi terkucil selamanya, dan merindukan penyatuan kembali dengan Tuhan”.
Ada mitos lain yang menarik menyangkut konsep teologi Yahudi, yaitu penantian terhadap datangnya sorang Messiah selama berabad-abad yang diharapkan akan membawa keadilan dan perdamaian. Dalam keyakinan Yeshiva, sebuah sekte yang didirikan R. Shalom Dov Ber yang sangat khawatir terhadap masa depan agama Yahudi, mereka akan menjadi prajurit dalam pasukan rabi yang akan berperang tanpa kenal ampun dan kompromi untuk memastikan agama Yahudi sejati tetap bertahan, dan perjuangan mereka akan meratakan jalan bagi kedatangan Messiah. Cukup beralasan jika kemudian keyakinan Yeshiva ini dipahami dengan pandangan: Messiah hanya akan turun ketika terjadi keberutalan dan peperangan .
Jika ditinjau dari latar belakang sejarah, konflik Israel dan Palestina merupakan bagian dari konflik Arab dan Israel yang lebih luas sejak 1940-an. Agresi Meliter Israel terakhir yang dilancarkan sejak 26 Desember 2008 pada prinsipnya merupakan bagian yang tidak terpisah dari konflik Israel dan Palestina sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, kronologi konflik Israel dan Palestina dapat dipahami sebagaimana penjelasan berikut:
Kronologi dan Anatomi Konflik Israel-Palestina
Tahun | Pristiwa | Deskripsi |
1917 | Deklarasi Balfour | 2 November 1917 Inggris memenangkan Deklarasi Balfour yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan tanah air bagi kaum Yahudi di Palestina. |
1922 | Mandat Palestina | |
1936-1939 | Revolusi Arab | Pimpinan Amin al Husein yang menyebabkan tidak kurang 5000 warga Arab terbunuh |
1947 | Rencana pembagian wilayah oleh PBB | 29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui untuk mengakhiri Mandat Britania untuk Palestina dari tanggal 1 Agustus 1948 dengan pemecahan wilayah mandat |
1948 | Deklarasi Negara Israel | Israel diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948, sehari kemudian langsung diserang oleh tentara dari Libanon, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya. Israel berhasil memenangkan peperangan dan merebut + 70% dari luas total wilayah mandat PBB Britania Raya. |
1949 | Perseteujuan gencatan senjata | 3 April 1949, Israel dan Arab sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan rencana pemisahan PBB |
1956 | Perang Suez | 29 Oktober 1965, Krisis Suez, sebuah serangan meliter terhadap Mesir dilakukan oleh Britania Raya, Perancis dan Israel. |
1964 | Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri | Mei 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri, tujuannya untuk menghancurkan Israel. |
1967 | Perang enam hari | Dikenal dengan perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah, yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit. |
Resolusi Khartoum | Sebuah pertemuan 8 pemimpin negara Arab pada tanggal 1 September 1967 karena terjadinya perang enam hari. Resolusi ini berlanjut ke perang Yom Kippur tahun 1973. | |
1968 | Palestina menuntut pembekuan Israel | Perjanjian Nasional Palestina dibuat, dan secara resmi Palestina menuntut pembekuan Israel. |
1970 | War of Attrition | Setelah perang enam hari (5-10 Juni 1967), terjadi insiden serius di Terusan Suez. Tembakan pertama dilepaskan 1 Juli 1967, ketika pasukan Mesir menyerang patroli Israel, dan ini merupakan awal dari perang War of Attrition. |
1973 | Perang Yom Kippur | Dikenal juga dengan Perang Ramadhan pada tanggal 6-26 Oktober 1973 karena bertepatan dengan bulan ramadhan. Perang ini merupakan perang antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, terjadi pada hari raya Yom Kipur, hari raya yang paling besar dalam tradisi orang-orang Yahudi. |
1978 | Kesepakatan Camp David | Ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 di Gedung Putih yang diselenggarakan untuk perdamaian di Tmur Tengah. Jimmy Carter (Presiden Amerika Serikat) memimpin perundingan rahasia yang berlangsung selama 12 hari antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin. |
1982 | Perang Libanon | Perang antara Israel dan Libanon yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1982 ketika angkatan bersenjata Israel menyerang Libanon Selatan. |
1990-1991 | Perang Teluk | |
1993 | Kesepakatan damai antara Palestina dan Israel | 13 September 1993, Israel dan PLO sepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pertemuan Yaser Arafat dan Israel Yitzhak Rabin berhasil melahirkan kesepakatan OSLO. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa memerintah di kedua wilayah. Arafat mengakui hak negara Israel untuk eksis secara aman dan damai. |
1996 | Kerusuhan teromongan al Aqsha | Israel sengaja membuka terowongan Masjid al Aqsha untuk memikiat para turis dan membahayakan fondasi mesjid bersejarah, pertempuran berlangsung beberapa hari. |
1997 | | Israel menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat |
1998 | Perjanjian Wye River | Oktober 1998, Perjanjian Wye River yang berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal. |
2000 | KTT Camp David | |
2002 | | Israel membangun tembok pertahanan di tepi Barat diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina |
2004 | | Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya |
2005 | Mahmud Abbas terpilih menjadi Presiden | 9 Januari 2005, Mahmud Abbas dari al Fatah terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina menggantikan Yaser Arafat yang wafat pada 11 November 2004 |
| | Juni 2005, pertemuan Mahmud Abbas dan Ariel Sharon di Yerusalem. Mahmud Abbas mengulur Jadwal Pemili karena mengkhawatirkan kemenangan diraih pihak Hammas |
| | Agustus 2005, Israel hengkang dari pemukiman Gaza dan empat wilayah pemukiman di Tepi Barat |
2006 | Hamas memenangkan Pemilu | Januari 2006, Hammas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi fatah selama 40 tahun |
2008 | | Januari-Juli, ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas, Hamas dituding tidak mampu mengendalikan kekerasan |
| | November 2008, Hamas batal ikut serta dalam pertemuan univikasi Palestina yang dilaksanakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel. |
| | 26 Desember 2008, Agresi Israel ke Jalur Gaza. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas. |
2010 | | mei Israel mem-blokede seluruh jalur bantuan menuju palestina |
| | 30 Mei 2010 Tentara Israel Menembaki kapal bantuan Mavi Marmara yang membawa ratusan Relawan dan belasan ton bantuan untuk palestina |
D. Analisis Sosial: Konflik Politik-Teologis
Berdasarkan uraian mengenai konflik Israel dan Palestina sebagaimana dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa, baik dari segi politik maupun teologis menjadi dua hal yang sulit dipisahkan meskipun keduanya harus dapat dibedakan. Beberapa catatan mengenai konflik Israel dan Palestina bahkan memperlihatkan sebuah analisis tentang pandangan konflik yang bermula dari persoalan politik ke teologis. Fakta semacam ini dapat dibenarkan, mengingat dalam litaratur Islam sendiri persoalan persoalan politik lebih dahulu muncul disusul dengan persoalan teologi. Selain itu, sulitnya memisahkan antara konflik politik dengan konflik teologis tidak saja disebabkan oleh pergeseran otomatis yang terjadi dari masalah politik ke teologi sebagaimana yang seringkali muncul, akan tetapi konflik yang bermula dari persoalan teologi juga tidak jarang memasuki ranah politik sebagai reaksinya untuk "bertarung" melawan teologi yang lain. Dengan demikian, konflik politik maupun konflik teologis menjadi dua hal yang saling membaur dan membutuhkan peranan yang satu terhadap yang lainnya.
Dari berbagai catatan mengenai latar belakang konflik Israel dan Palestina sebagai bagian dari konflik Arab dan Israel yang lebih luas, tampak jelas bahwa konflik ini terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh masalah politik yang kemudian menjurus pada persoalan teologis. Tidak sepenuhnya benar pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel dan Palestina murni sebagai persoalan politik, sebab argumentasi teologis khususnya yang datang dari pihak Yahudi juga mengambil bagian dalam konflik ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa, konflik Palestina dan Israel merupakan konflik yang bermula dari persoalan politik dan sedikit melibatkan persoalan teologis yang memiliki pengaruh besar pada kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh negara Israel.
Persoalan teologis yang dimaksud adalah keyakinan bangsa Yahudi terhadap tanah yang dijanjikan dan harus direbut sebagai bentuk intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang telah tertindas. Konsep teologis tidak dimaksudkan sebagai perang agama yang terjadi antara agama Yahudi dan Islam yang menjadi pandangan "kolektif" hampir seluruh umat Islam, dan harus ditegaskan bahwa pandangan semacam ini merupakan pandangan yang keliru. Sepanjang sejarahnya, konflik antara Yahudi dan Islam atas nama agama belum pernah terjadi, walaupun konflik Israel-Palestina telah berlangsung sejak enam puluh tahun silam.
Memahami situasi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, analisis sosial tentu menjadi alternatif yang diperlukan untuk mencari jalan keluar yang tepat, karena konflik ini secara luas menyangkut masalah interaksi sosial yang menyentuh berbagai aspek. Holsti dalam Chandra (2008) menyebutkan, ”pada dasarnya segala jenis hubungan (interaksi) menunjukkan adanya sifat konflik”. Karenanya, solusi untuk konflik sosial yang mengelilingi interaksi Israel-Palestina hanya dapat ditempuh melalui analisis sosial dengan harapan dapat mengantarkan pemahaman pada faktor-faktor yang membentuk interaksi antar kelompok dan situasi yang membentuk interaksi tersebut pada level ketegangan maupun hubungan yang harmonis.
Setidaknya, interaksi Israel dan Palestina yang membentuk konflik teridentifikasi pada dua masalah besar: politik dan teologis. Jika dilihat dari latarbelakang sejarahnya, masalah politik pada prinsipnya menjadi pemicu utama yeng membentuk situasi konflik Israel dan Palestina, dan argumentasi teologis tentang berbagai hal seperti: keyakinan tentang tanah yang dijanjikan; bangsa terpilih; maupun "tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah"; menjadi kekuatan lain yang membentuk konflik. Beberapa sumber bahkan menganggap argumentasi teologis ini merupakan politik mitos yang diciptakan oleh bangsa Yahudi sendiri untuk melegitimasi setiap tindakannya dalam mendapatkan "tanah yang dijanjikan", sehingga pandangan ini semakin berpotensi membentuk anggapan bahwa konflik Israel dan Palestina murni sebagai konflik yang dipicu oleh permasalahan politik.
BAB III
PENUTUP
Penyelesaian konflik Israel dan Palestina sesungguhnya terletak pada kedua belah pihak yang bertikai. Penyelesaian konflik Israel Palestina akan sulit tercapai apabila pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah diambil. Pada aspek politik, langkah bijak yang tentunya dapat dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai persoalan dari kedua belah pihak untuk mendapatkan kerja sama dengan kepentingan yang sama dari masing-masing kebijakan politik keduanya. Sementara pada aspek teologis, dialog merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keduanya. Selain itu, aspek teologis tidak terlalu dominan mewarnai konflik, mengingat dalam sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah terjalin dengan harmonis tanpa adanya unsur politik.
DAFTAR PUSTAKA
Bankulon, Visobar. 2009. Konflik Israel-Palestina (Masih) Sebuah Penantian Akan Mesias. Online diakses di http://www.in-christ.net/blog/literatur-/konflik_israelpalestina_masih_sebuah_penantian_akan_mesias pada tanggal 4 Oktober 2010.
Chandra, Hadi. 2008. Konflik Sosial dalam Perang Israel-Palestina. Online di akses di http://www.docstoc.com/docs/Download-Doc.aspx?doc_id=-446577r pada tanggal 3 Sepetember 2010.
Ensiklopedia Geografi. 2007. Ensiklopedia Geografi Jilid 3. Jakarta: PT Lentera Abadi.
Hamasiah, Naro. 2009. Konflik Israel-Palestina. Online diakses di http://www.-matabumi.com/features/konflik-israel-palestina pada tanggal 4 Oktober 2010.
Jenny, 2008. Artikel asia barat baru: akar masalah palestina. Online diakses di http://luvlies.multiply.com/journal/item/2 pada tanggal 4 Oktober 2010.
Marhaendy, Eko. ____. Sebuah Penjelajahan Konflik Israel Palestina. Online di akses di http://www.docstoc.com/docs/Download-Doc.aspx?doc_id=-568798w pada tanggal 4 Oktober 2010.
Salim, Hafsah. 2007. Cikeas: Berdirinya Bangsa Israel Sebagai Hasil Referendum Seperti Halnya Timor Leste. Online diakses di http://www.mail-archive-.com/cikeas@yahoogroups.com/msg06090.html pada tanggal 4 Oktober 2010.
Wikipedia. 2010. Asia Barat Daya. Online diakes di http://id.wikipedia.org/-wiki/Asia_Barat_Daya pada tanggal 3 September 2010.
Wikipedia. 2010. Israel . Online diakes di http://id.wikipedia.org/wiki/Israel pada tanggal 3 September 2010.
Wikipedia. 2010. Zionisme. Online di akses di http://id.wikipedia.org/wiki-/Zionisme pada tanggal 4 Oktober 2010.
Yahya, Harun. 2006. Antara Zionisme dan Yahudi. Online diakses di http://www-.harunyahya.com/indo/artikel/046.htm pada tanggal 4 Oktober 2010.
REALM ASIA BARAT
ANALISIS KONFLIK ISRAEL DAN PALESTINA
(Dimensi Poltik dan Teologis)
Tugas Terstruktur
Untuk memenuhi mata kuliah Geografi Regional Lanjut
Yang dibina oleh Prof. Dr. Sumarmi, M. Pd
Disusun oleh:
Sahesty Adriani
100721507351
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
OKTOBER 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar